blank
Ilustrasi. Reka: SB.ID

Oleh Tri Hutomoblank

KEBEBASAN yang dimiliki oleh hakim ini dari satu sisi sangatlah positif karena prinsip inilah yang dapat menghasilkan putusan yang adil. Namun prinsip ini dapat membuka pintu bagi hakim untuk melakukan tindakan koruptif. Maka dari itulah diperlukan pengawasan bagi para hakim.

Oleh karena itu dibuatlah Kode Etik Hakim dan Pedoman Perilaku Hakim berdasarkan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor : 047/Kma/Skb/Iv/2009 Dan Nomor : 02/Skb/P.Ky/Iv/2009 pada tanggal 8 April 2009.

Di dalam kode etik hakim ini sangat jelas ditetapkan mengenai prinsip-prinsip dasar kode etik dan pedoman perilaku hakim yang diimplementasikan dalam 10 (sepuluh) aturan perilaku yaitu : Berperilaku Adil, Berperilaku Jujur, Berperilaku Arif dan Bijaksana, Bersikap Mandiri, Berintegritas Tinggi, Bertanggung Jawab, Menjunjung Tinggi Harga Diri, Berdisiplin Tinggi, Berperilaku Rendah Hati, dan Bersikap Profesional.

Melalui prinsip-prinsip dasar dari perilaku hakim ini seharusnya hakim tidak menyeleweng namun tetap menegakkan keadilan. Namun ternyata kode etik dan pedoman perilaku hakim tersebut tidaklah cukup untuk mengantisipasi hakim-hakim nakal.

Diperlukan sebuah badan untuk mengawasi para hakim ini agar tidak melakukan penyelewengan. Badan yang dibentuk untuk mengawasi para hakim ini yaitu Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Kedua badan hukum ini dibentuk dengan tugas dan kewenangan masing-masing untuk mengawasi hakim dalam melaksanakan tugasnya.

Terus Saja Terjadi

Dengan adanya badan pengawas ini diharapkan para hakim tidak melakukan korupsi atau menerima suap. Namun dalam perjalanan, korupsi atau suap di lingkungan peradilan dari tingkat pertama sampai Mahkamah Agung sebagai puncak peradilan tidak kunjung surut. Hingga saat ini sudah banyak nama-nama hakim yang masuk kedalam daftar tahanan dan juga semakin banyak bentuk pelanggaran lainnya dilingkungan peradilan.

Banyaknya  hakim yang menerima suap inilah yang menjadi keresahan masyarakat. Tentu dengan banyaknya kasus hakim yang terlibat korupsi ini mempengaruhi tingkat kepercayaan publik pada lembaga pengadilan.

Salah satu kasus suap yang baru saja terjadi, Kejaksaan Agung (Kejagung) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap ketiga hakim pemberi vonis bebas Ronald Tannur. Ketiga hakim tersebut diyakini menerima suap dari Ronald Tannur yang meminta dibebaskan dari kasus dugaan pembunuhan kekasihnya sendiri.

Adapun pembebasan vonis Ronald Tannur telah diumumkan pada sidang yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya pada Juli 2024 lalu. Padahal jaksa sudah menuntut Ronald Tannur atas dakwaan pembunuhan serta tuntutan hukuman 12 tahun penjara serta restitusi Rp 263,6 juta subsider 6 bulan kurungan.

Ketiga hakim tersebut ditangkap di Jawa Timur dan dibawa ke Kejaksaan Tinggi Jawa Timur (Kejati Jatim) sesaat setelah terjaring OTT. Selain ketiga hakim tersebut, Kejagung juga telah menangkap pengacara Ronald Tannur.

Kejaksaan Agung menetapkan tiga hakim yang membebaskan anak mantan anggota DPR, Ronald Tannur, terkait kasus pembunuhan Dini Sera. Sebagai tersangka atas dugaan suap. Sebelumnya, Kejagung telah menetapkan 4 tersangka yang terdiri atas 3 hakim PN Surabaya, Kemudian, satu orang tersangka lainnya ialah Lisa Rahmat (LR), pengacara Ronald Tannur selaku pemberi suap.

Ini jadi pelajaran bagi para penegak hukum, khususnya para hakim lainnya agar tidak main-main.dalam menggunakan kewenangan dan jabatan untuk sesuatu yang melanggar, yang bisa berdampak pada personal maupun institusi penegak hukum.

Dalam perkembangannya Kejaksaan Agung (Kejagung) juga menyeret mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) dalam kasus suap vonis bebas Ronald Tannur, yang diduga menerima gratifikasi pengurusan perkara-perkara lainnya. Kejagung menyatakan penerimaan gratifikasi tersebut terjadi selama ZR menjabat Kapusdiklat MA.

Kejagung mengatakan total barang bukti yang disita Kejagung dari ZR mencapai Rp 920 miliar lebih, serta logam mulia yakni emas batangan seberat 51 kg. Selain perkara pemufakatan jahat untuk melakukan suap (vonis bebas Ronald Tannur) tersebut, ZR pada saat menjabat sebagai Kapusdiklat menerima gratifikasi pengurusan perkara-perkara di Mahkamah Agung dalam bentuk uang.

Ada yang rupiah dan ada yang mata uang asing. Sehingga Kejagung menetapkan Zarof sebagai tersangka pemufakatan jahat rencana suap. Dia dijerat dengan Pasal 5 ayat 1 Juncto Pasal 15 Juncto Pasal 18 UU Tipikor. Zarof juga dijerat dengan Pasal 12b Juncto Pasal 18 UU Tipikor. sementara pengacara Ronald Tannur, Lisa Rahmat, dijerat dengan Pasal 5 ayat 1 Juncto Pasa 15 Juncto Pasal 18 UU Tipikor.

Jelang Vonis Kasus Karimunjawa

Kejadian-kejadian tersebut sangat menarik perhatian publik, tidak terkecuali masyarakat Jepara Jawa Tengah menjelang pembacaan putusan terhadap 4 (empat) tersangka pelaku tambak di Karimunjawa pada Tanggal 30 Oktober 2024.

Bahwa setelah dilakukannya kegiatan operasi gabungan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Penegakkan Hukum KLHK tanggal 2 sampa dengan 4 November 2023, atas dugaan Tindak Pidana Bidang Konservasi Alam Hayati yaitu setiap orang dilarang melakukan kegiatan tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat 2 Jo Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang No.5 Tahun 1990 tentang KSDAE dan/atau Tindak Pidana dibidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yaitu dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria batu kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat 1 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH;

Akhirnya dilakukan proses persidangan, dengan nomor register Perkara Nomor 51/Pid.Sus-LH/2024/PN Jpa a.n Teguh Santoso Bin Sumarno, Perkara Nomor 52/Pid.Sus-LH/2024/PN Jpa a.n Sutrisno Bin Sunardi, Perkara Nomor 53/Pid.Sus-LH/2024/PN Jpa a.n Sugianto Limanto Bin Tri Santoso Limanto, Perkara Nomor 54/Pid.Sus-LH/2024/PN Jpa a.n. Mirah Sanusi Darwiyah Binti Tular.  Yang disidangkan perdana pada Tanggal 25 Juni 2024. Sidang dipimpin oleh ketua majelis hakim Meirina Dewi Setiawati, S.H., M.Hum. didampingi 2 hakim anggota Parlin Mangatas Bona Tua S.H., MH dan Joko Ciptanto S.H.

Dalam perkembangannya, sidang dengan agenda tuntutan, dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Dalam tuntutannya untuk Terdakwa Teguh Santoso Bin Sumarno, berdasarkan fakta- fakta yang terungkap di persidangan dan keterangan saksi saksi dan terdakwa, jaksa berkesimpulan bahwa sudah terpenuhi tindakan melawan hukum dengan sengaja. Sehingga JPU menuntut Hukuman penjara 6 tahun dikurangi masa tahanan dan denda sebesar Rp. 7 Milliar, apabila tidak bisa membayar diganti kurungan selama 4 bulan.

Terdakwa Sutrisno Bin Sunardi, berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan, jaksa berkesimpulan bahwa sudah terpenuhi tindakan melawan hukum dengan sengaja. Sehingga dituntut penjara selama 4 tahun dipotong masa tahanan dan denda Rp. 7 Milliar, apabila tidak mampu diganti penjara selama 4 bulan.

Terdakwa Mirah Sanusi Darwiyah Binti Tular, berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan, jaksa berkesimpulan bahwa sudah terpenuhi tindakan melawan hukum dengan sengaja. Maka JPU menuntut penjara selama 3 tahun dikurangi masa tahanan dan denda Rp. 6 Milliar apabila tidak bersedia maka diganti 3 bulan penjara.

Sedangkan terdakwa Sugianto Limanto Bin Tri Santoso Limanto, dituntut penjara selama 3 tahun dan denda Rp. 6 Milliar, apabila tidak mampu diganti penjara 3 bulan.