Aksi unjuk rasa di depan DPRD Jateng. Foto: Ning S

Revisi UU Pilkada seperti disebutkan diatas jelas mengesankan adanya upaya elit politik untuk membatasi partisipasi masyarakat secara luas untuk memunculkan calon dalam Pilkada. Hal itu dibuktikan dengan terus berkurangnya pasangan calon perseorangan yang dapat maju dalam Pilkada.

Calon Tunggal

UU Pilkada juga memberikan keleluasaan bagi elit politik untuk menentukan calon kepala daerah yang akan terpilih dengan memanfaatkan jalur calon tunggal. Dengan jalur ini calon yang diusung rame-rame oleh elit partai politik bahkan tidak terlalu ‘berkeringat’ untuk memenangkan pilkada. Pilkada yang diikuti satu pasangan calon bisa dilakukan setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XII/2015.

Putusan MK tadi awalnya menjadi penyelamat Pilkada yang terancam tidak bisa digelar karena hanya ada satu pasangan calon yang mendaftar. Dalam perkembangannya, calon tunggal dalam Pilkada ternyata menjadi ‘jalan pintas’ untuk memenangi Pilkada. Dampaknya Pilkada yang hanya diikuti satu pasangan calon terus meningkat dari waktu ke waktu. Pada Pilkada Serentak 2017 jumlah calon tunggal hanya 9 pasangan, naik menjadi 13 pasangan pada Pilkada serentak 2018, 16 pasangan di Pilkada 2019, dan 25 pasangan Pada Pilkada 2020.

Pada 2014, elit politik juga mencoba mengubah sistem Pilkada melalui UU 22/2014. Menurut UU tersebut calon kepala daerah dipilih oleh anggota DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota. Setelah mendapat penolakan publik, pemerintah akhirnya mengeluarkan Perpu 1/2014 yang mengembalikan pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat.

Pada 2024, kesan menafsirkan norma UU menurut kepentingan elit juga terlihat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 23/P/HUM/2024. Putusan tersebut menyatakan bahwa syarat usia paling rendah 30 tahun bagi calon gubernur/wakil gubernur dan 25 tahun bagi calon bupati/wakil bupati serta calon walikota/wakil walikota, harus dihitung sejak pelantikan pasangan Calon terpilih, bukan saat pendaftaran pasangan calon.

Dengan catatan di atas, evaluasi terhadap perkembangan UU Pilkada sudah saatnya dilakukan. Semangat penyelenggaraan Pilkada harus dikembalikan pada Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, (4) “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”.

Ahmad Jukari (Tim Asistensi Bawaslu RI 2019-2022, Ketua KPU Kabupaten Pati 2012-2013 dan Dosen STAIP Pati)