Oleh: Ahmad Jukari
BEBERAPA hari ini mahasiswa dan sejumlah elemen masyarakat menggelar aksi unjuk rasa di berbagai tempat. Mereka menuntut DPR menghentikan pembahasan rancangan undang-undangan Pemilihan kepala daerah (RUU Pilkada) dan memastikan pelaksanaan Putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan MK No. 70/PUU-XXII/2024 dalam Pilkada serentak 2024.
Pembahasan RUU Pilkada dianggap siasat DPR untuk ‘ngakali’ pelaksanaan Putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan MK No. 70/PUU-XXII/2024. Putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 memberi hak partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD untuk mengajukan pasangan calon dalam Pilkada. Putusan MK tadi juga mengurangi ambang batas perolehan suara atau kursi DPRD yang menjadi syarat bagi partai politik untuk mengusung pasangan calon.
Sementara itu Putusan MK No. 70/PUU-XXII/2024 menolak tafsir baru Pasal 7 ayat (2) huruf e UU 10/2016. Dalam perkara itu pemohon meminta agar syarat usia calon kepala daerah dihitung berdasarkan waktu pelantikan calon terpilih, bukan saat pendaftaran calon. Dengan Putusan MK No. 70/PUU-XXII/2024, syarat calon gubernur dan wakil gubernur paling rendah berusia 30 tahun dan calon bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota harus berusia paling rendah 25 tahun, tetap dihitung berdasarkan waktu pendaftaran.
Sikap publik yang saat ini aware terhadap perkembangan sistem penyelenggaraan Pilkada, harus menjadi momentum untuk mengevaluasi sejumlah norma dalam UU Pilkada yang belakangan semakin menunjukkan watak oligarki. Sejumlah norma UU Pilkada terkesan dibuat hanya mempertimbangkan kepentingan sekelompok kecil elit, bukan untuk kepentingan masyarakat umum.
Pengurus Daerah
Jika dicermati, dalam 13 tahun terakhir perkembangan UU Pilkada terus memperlihatkan watak oligarki. Dimulai pada 20011, saat itu kewenangan pengurus partai politik di daerah untuk mengusung pasangan calon dalam Pilkada diamputasi. Di sisi lain peran pengurus parpol di tingkat pusat semakin besar karena pasangan calon yang didaftarkan oleh pengurus daerah harus mendapat persetujuan pengurus di tingkat pusat. Hal itu berawal dari Putusan MK Nomor 82/PHPU.D-IX/2011 yang membatalkan pasangan calon dalam Pilkada Pati tahun 2011 karena tidak mendapat rekomendasi dari pengurus parpol di tingkat pusat.
Putusan MK tadi kemudian dirumuskan dalam norma Pasal 42 ayat (4) dan ayat (5) UU 8/2015.
Sebelumnya, syarat persetujuan pengurus parpol di tingkat pusat bagi pasangan calon yang didaftarkan ke KPU tidak diatur dalam UU 32/2004 Jo. UU 12/2008. Tentu saja putusan itu memberikan power lebih kuat bagi pengurus partai politik di tingkat pusat dalam penentuan calon.
Syarat Calon Perseorangan
Setelah itu, dilakukan revisi UU Pilkada yang menaikkan batas minimal dukungan bagi calon perseorangan yang akan maju dalam Pilkada. Dalam UU 1/2015, pasangan calon perseorangan yang akan maju dalam Pilkada di Kabupaten/kota berpenduduk (dalam DPT) sebanyak 500.000 hingga 1.000.000, hanya perlu mengumpulkan dukungan sebanyak 4 persen. Ketentuan itu direvisi dalam UU 10/2016 menjadi 7,5 persen. Sedangkan Provinsi berpenduduk (dalam DPT) 12 juta atau lebih dalam UU 1/2015 hanya diharuskan menyerahkan dukungan sebanyak 3 persen, diubah melalui UU 10/2016 menjadi 6,5 persen.