Dua orang narasumber saat memberikan pandangannya, terkait perempuan dengan HIV, dalam Talkshow Kudengar, di Studio Radio USM Jaya, belum lama ini. Foto: dok/usm

SEMARANG (SUARABARU.ID)– Diskriminasi masih menjadi masalah besar, dan terus ada dalam lingkungan masyarakat. Salah satu yang turut menjadi korban diskriminasi adalah perempuan dengan HIV (Human Imuunodeficiency Virus).

Hal itu seperti yang diungkapkan Pengurus Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) Jawa Tengah, Nurul Safa’atun, dalam Talkshow Kudengar (Kuliah Keadilan dan Kesetaraan Gender), di Studio Radio USM Jaya, di Gedung N Universitas Semarang (USM), belum lama ini.

Kegiatan yang dipandu penyiar Radio USM Jaya FM, Putri Sabila itu, juga menghadirkan narasumber Vocal Point Kota Semarang IPPI Jateng, Lutfi Nurul Hidayah. Adapun tema yang diambil, ‘Perempuan HIV dalam Lingkaran Kekerasan Berbasis Gender’. Kegiatan ini digelar atas kerja sama Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) USM.

BACA JUGA: UPZ Masjid Alqodar Sendangmulyo Raih Baznas Award 2024

Nurul mengungkapkan, perempuan yang telah divonis status HIV, seakan tidak memiliki daya tawar, serta banyak mendapatkan diskriminasi di lingkungan masyarakat. Diungkapkan dia, ketika ada perempuan HIV, dan ketika ada seorang laki-laki yang dekat, itu sudah dianggap beruntung.

”Di sini kita tidak ada kesetaraannya, jadi kita hanya pasrah, mau diperlakukan seperti apa oleh pasangan, manut-manut saja. Jadi kalau kita melihat kesetaraan gender dengan kaitannya perempuan HIV sangat erat. Karena diluar sana masih banyak perempuan HIV, dan mereka hanya bisa menerima dan pasrah,” katanya.

Dia menambahkan, kondisi itu dapat membuat perempuan dengan HIV, lebih rentan mendapat kekerasan berbasis gender. Padahal seharusnya, perempuan khususnya dengan HIV, berhak mendapatkan hak-haknya, serta layak mendapatkan kesetaraan gender.

BACA JUGA: Tim Bulu Tangkis PWI Jateng Juara Umum di Porwanas 2024

”Kuncinya adalah dengan pasangan, sering-seringlah berkomunikasi walaupun statusnya kita mungkin HIV. Jadi kita bernegosiasi, bahwa hak-hak kita itu harus juga dipenuhi, bukan hanya untuk diberikan kasih sayang saja, tapi suami juga harus memahami konteks, bahwa urusan rumah itu tidak hanya urusan istri, melainkan berdua,” tambahnya.

Selain itu, lanjutnya, perempuan dengan HIV dipandang memiliki citra yang jelek oleh masyarakat. Dimana ketika terdapat perempuan HIV, maka anaknya pasti terkena HIV, yang sebetulnya hal itu tidak sepenuhnya benar.

”Orang yang terkena HIV, tidak bisa sembuh tapi bisa sehat, asalkan jangan berhenti mengonsumsi obat Anti Retroviral (ARV). Jangan sampai putus pengobatan. Kalau sampai putus, akan naik jumlah virusnya,” ungkap Nurul.

BACA JUGA: Jamrud Puaskan Puluhan Ribu Penggemar di Alun-alun Kebumen

Dia berharap, masyarakat tidak meninggalkan orang-orang dengan HIV, namun harus diperlakukan lebih baik, dengan cara merangkul dan menguatkan mereka.

”Perempuan dengan HIV tidak butuh gelar, karena dia sudah dapat gelar seumur hidup. Itu juga stigma dan diskriminasi buat kita, yaitu ODHA atau Orang Dengan HIV/AIDS. Kami berharap, ketika menemukan tetangga maupun kolega yang mendapatkan status HIV, jangan ditinggal. Paling tidak, jangan tanyakan bagaimana kejadiannya, tapi bagaimana nanti dirangkul,” harapnya.

Hal senada disampaikan Lutfi Nurul Hidayah. Menurutnya, penularan HIV hanya bisa melalui cairan bertemu cairan. ”Jadi kalau kita salaman, pelukan, atau makan di satu piring yang sama, itu tidak akan menular. Biasanya lewat cairan darah, dari ibu ke anak melalui menyusui, tapi bukan air susunya yang membuat penularan, melainkan proses menyusuinya,” jelasnya.

BACA JUGA: Gus Mahfudz : Rijalul Ansor Harus Teladani Sikap Kenegarawanan Tokoh NU

Dia mengatakan, bentuk diskriminasi lain akibat dari stigma yang berkembang di lingkungan masyarakat, salah satunya seorang yang menjadi pekerja seks dan terkena HIV yang mendapatkan kombo diskriminasi, bahkan hingga dikeluarkan dari tempat kos.

Adapun beberapa perempuan HIV yang memiliki pasangan untuk melarang meminum obat ARV, dengan anggapan bahwa istrinya sehat. Menurut Lutfi, hal itu melanggar hak istri. Dia menilai, perbedaan orang yang terkena HIV dengan orang biasa, hanya dari status medisnya.

Menurutnya, keluarga memiliki peran yang besar sebagai pendukung, agar para orang khususnya perempuan dengan HIV, tidak merasa sendirian. ”Jangan takut menyuarakan, karena kalau bukan kita siapa lagi,” tukas Lutfi.

Riyan