Ilustrasi. Reka wied.SB.ID

JC Tukiman Tarunasayoga

MASIH adakah dewasa ini barang wadi? Masih adakah rahasia dalam gaya hidup zaman sekarang ini? Sulit menjawab tepatnya.

Mengapa? Perkara atau informasi  yang seharusnya masuk kategori rahasia, sangat mungkin dewasa ini diewer-ewer membikin merinding, malu, dan tentu saja tersebar ke mana pun angin bertipu  tanpa dapat dikendalikan lagi.

Pada sisi yang lain, dewasa ini bukannya tidak mungkin orang malah secara sengaja  karena  bertujuan pansos, panjat sosial, biar cepat terkenal (lagi).

Kamangka seharusnya, sesuatu yang wadi iku kudu gawe wedi;  hal-hal yang rahasia itu seharusnya membuat orang (siapa pun) takut untuk membuka atau menyeriterakannya.

Baca juga (Nganggo) Sidhang-sering

Mosok, rahasia istri diewer-ewer diceriterakan di mana-mana  dan kemana-mana oleh sang suami hanya karena alasan kecewa, misalnya. Emangnya dirimu paling hebat dan tidak juga pernah/sering mengecewakan istrimu?  Malaekat kah dikau?

Wadi

Kata wadi, sama juga wados, memiliki empat makna, yaitu (i) kang sejati, intinya atau yang paling hakiki dari sesuatu, seperti misalnya  isi surat wasiat (ii) kang baku, paling perlu dhewe, sesuatu yang paling diperlukan, dibutuhkan; seperti contohnya penghasilan atau gaji bagi pekerja; (iii) perkara kang ora bisa dikandhakake liyan, sesuatu yang rahasia dan karena itu tidak bisa/boleh diceriterakan kepada siapa pun.

Contohnya penyakit seseorang, selayaknya penyakit itu wadi, tidak sembarang orang boleh/bisa tahu. Namun yang sering terjadi justru sebaliknya, begitu bertemu dengan orang sakit (bezoek misalnya) dengan lantangnya orang bertanya: “Kowe ki lara apa?” Dan (iv) kekeran, yaitu sesuatu yang sengaja dikeker, disimpan, dirahasiakan, digawe wadi.

Tentang kekeran ini perlu dijelaskan panjang-lebar dan sebaiknya ada contohnya. Dalam ritual setiap agama, sebutlah dalam ritual doa dan ibadatnya, pasti ada aspek yang paling dianggap sebagai kekeran, sebagai bagian yang paling suci, paling syahdu, paling rahasia, paling indah; dan karena itu selayaknya juga dimaknai sebagai hal/fase yang paling harus dihormati, paling “menakutkan” dan tentu saja paling puncak untuk mengagumi Allah (fascinosum, Latin).

Itulah saatnya umat beragama menghayati dan menikmatinya sebagai kekeraning pangandel, rahasia iman yang paling terdalam. Dalam agama Katolik, kekeraning pangandel terjadi/ada pada saat yang disebut konsekrasi; dan di puncak itulah rahasia iman dihayati dan diucapkan secara lesan penuh rasa trimendum (Latin, takut: ngeri-ngeri sedap) pengakuan iman: Yesus wafat, Yesus bangkit, dan Yesus akan kembali.

Seharusnya wedi

Terhadap sesuatu yang rahasia, wadi, sikap terbaik sebetulnya wedi, yakni takut karena hormat. Contoh konkritnya barang wadi pada diri setiap orang yang harus diperlakukan secara khusus dan rahasia, dan karenanya setiap orang harusnya takut dan hormat.

Baca juga Sapa Klipuk, Sapa Sigrak?

Mengapa pelecehan seksual saat ini sering menjadi isu yang menarik namun di sisi lain memrihatinkan? Jawabannya, ya karena rasa hormat dan takut terhadap masalah-masalah seksual seharusnya semakin tinggi, bukannya malah melecehkannya.

Itulah mengapa harus ada hukuman berat atas pelecehan seksual itu agar orang semakin tersadarkan betapa seharusnya takut dan hormat secara semestinya. Intinya, kudune wedi amarga kuwi barang wadi.

Penistaan agama juga dapat menjadi contoh konkrit tentang rasa hormat dan takut yang seharusnya dilakukan atau pun terjadi terhadap kaidah dan ajaran agama; bukannya sebaliknya malah melecehkannya. Intinya, kudune wedi, amarga kuwi hal yang paling harus dihormati.

Ada kisah tentang petani dan pengacara demikian: Di tengah sawah yang katanya sedang ada sengketa, seorang pengacara yg sedang kondang pidato kepada para petani: “Bapak-bapak, tegaklah seperti say aini tidak pernah menunduk. Perkara bapak akan saya bantu selesaikan jika bapak-bapak tegak.”

Sesaat semua terdiam, tiba-tiba seorang petani berkata: “Pak, puluhan tahun kami bertani, dan puluhan tahun pula belajar dari padi-padi ini: Padi itu penuh  rahasia, Pak; semakin berisi semakin menunduk.”

Satu demi satu petani menjauh dari pertemuan itu, lalu pulang;  dan tinggal sang pengacara itu terdiam di situ beberapa lama.

JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Soegijapranata Catholic University