Ilustrasi. Reka: wied

JC Tukiman Tarunasayoga         

 APA kesan masyarakat terhadap pemenang pilpres maupun pileg saat ini? Satu kata saja jawabannya: kesusu! Baik kesusu dalam hal menyikapi atau pun menanggapi sesuatu atau komentar seseorang; maupun kesusu dalam menghitung hari, seolah-olah September atau Oktober atau November itu mung keri sesuk esuk, tinggal besok pagi saja rasanya.

Padahal senyatanya masih beberapa bulan lho, dan kalau dihitung pakai minggu, masih puluhan minggu; apalagi kalau dihitung berbasis hari, masih ratusan hari. Mengapa kesusu, gerangan?

Mengambil satu dua contoh atas kesan –kok kesusu ya ngapa ta?/ Rasanya adil dan layak sebagai bagian dari masukan masyarakat agar siapa pun ingat ungkapan ini: Ngono ya ngono, menang ya menang; nanging mbok  ora usah kumenang.

Kalau benar ada pihak yang  (sudah) mengatakan: “Jangan mengganggu, ya!!” Itu salah satu contoh orang bersikap kesusu tadi. Mengapa disebut kesusu? Yah………….emangnya sudah waktunya? Dan, apakah betul ada yang mau ganggu?

Jadi intinya, masyarakat memberi masukan kepada para pemenang, tidaklah perlu siapa pun kesusu, sebab semuanya sudah ada waktu dan mekanismenya; dan justru mumpung masih ada waktu cukup longgar ini, rancanglah sebuah langkah baru yang disebut nganggo sidhang-sering.

Pendekatan baru

Ucapkan sering (dalam ungkapan sidhang-sering ini) bukan seperti Anda mengatakan kering atau bening; melainkan katakanlah seperti sharing (Inggris) atau sheriff, bisa juga semi-final, pun sehat.

Baca juga Sapa Klipuk, Sapa Sigrak?

Dan nganggo sidhang-sering itu sebuah ungkapan bijak, tentu berupa nasihat bagi mereka yang akan menjadi pimpinan di mana pun.

Inti nasihatnya, ialah utamakan musyawarah, prioritaskan berembug; dan karena itu jauhkan model-model mengancam atau menekan; atau lalu juwawa: “Minggir bagi yang gak dukung!!”  Janganlah begitu.

(Nganggo) Sidhang-sering bermakna kabeh dirembug amrih ora ana sing kapitunan; hendaklah semua hal dimusyawarahkan agar tidak satu pun yang (akan) dirugikan. Pertanyaannya, apakah nganggo sidhang-sering ini sama dengan win-win solution? Saya cenderung mengatakan berbeda.

Win-win solution ada kecenderungan kuat secara manajerial dengan tujuan utama agar kedua belah pihak tetap merasa menang karena tidak sangat dirugikan.

Sementara itu, nganggo sidhang-sering saya sebut sebagai sebuah pendekatan baru dengan mengutamakan olah-rasa penuh mendengarkan suara hati. Pegang peranan terpenting adalah hati yang berbicara, bukan pikiran; dan karena kalbu ini yang “didengarkan” maka nurani setiap insan tergerak.

Contoh konkretnya, bisa berbela rasa atau pun empati terhadap pihak yang sedang kalah, sedih, murung, patah semangat, dsb.

Baca juga Sapa Wanteg, Sapa Luntur?

Nganggo sidhang-sering berarti mengutamakan  aspek kemanusiaan yang adil dan beradab, bukan model main perintah, main gertak, main kuasa dst. Dan barang siapa melaksanakan secara arif sidhang-sering, maka orang itu (baca pemimpin) akan dikenal sebagai pemimpin yang betul-betul mengemban amanat Pancasila utamanya sila kedua: Kemanusiaan yang adil dan beradab.

Kisah Kaisar

Ada kisah legendaris dari suatu negeri demikian: Seorang kaisar yang sudah tua sesumbar akan menaklukkan semua musuh-mushnya, bahakn akan membunuh semuanya.

Namun beberapa waktu kemudian banyak orang merasa heran, sebab menyaksikan kaisar yang sesumbar itu sedang berpesta makan minum Bersama-sama dengan yang dianggapnya musuh itu.

Ada orang yang memberanikan bertanya: ”Kaisar, katanya tuan akan melenyapkan semua orang-orang yang dianggap musuh itu?” Seraya tertawa kaisar itu menjawab: “Memang benar, saya sudah melenyapkan musuh-musuh itu dengan cara saya menjadikan mereka itu sahabat saya.”

Kisah sangat menarik. Hanya kaisar itu sendirilah yang bisa menjadikan musuh-musuhnya sebagai sahabatnya. Dan jangan berharap sebaliknya. Apa yang paling menggerakkan hati kaisar ini?

Jawaban pastinya, ialah hatinya sendiri yang menjunjung tinggi asas kemanusiaan yang adil dan beradab. Artinya, kaisar itu menerapkan ajakan dan ajaran nganggoa sidhang-sering dalam memerintah/memimpin:  Manajemen hati Nurani, penuh etika dengan segala moralitasnya.

JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Soegijapranata Catholic University