Ilustrasi luntur. Reka: SB.ID

JC Tukiman Tarunasayoga

SEORANG koster, -salah satu pegawai gereja Katolik yang antara lain bertugas rutin membunyikan lonceng setiap pukul enam pagi, pukul duabelas siang, dan pukul enam petang- ,  setiap harinya pasti selalu singgah di toko jam yang dilewatinya ketika ia berangkat atau pulang kerja.

Kadang sempat bertegur sapa dengan pemilik toko, kadang juga berlalu begitu saja tanpa sempat bertegur sapa.

Suatu hari, pemilik toko penasaran, lalu bertanya kepada sang koster: “Pak, terima kasih setiap hari Anda rajin mengunjungi toko kami. Tetapi maaf, karena Anda belum pernah membeli apa pun dari barang jualan kami, bolehkah saya bertanya: Ada maksud apa ya, Pak?”

Koster terdiam sejenak, baru kemudian menjawab, “Pak, saya berterima kasih sekali boleh selalu mencocokkan jam saya di sini. Saya khawatir kalau-kalau jam yang saya pakai ini berbeda dari jam di dinding itu.”

Baca juga Sapa Lungid, Sapa Menthel?

Pemilik toko jam semakin penasaran, lalu memberanikan diri bertanya, “Mengapa khawatir, Pak?”

Sunoko, nama koster itu,  tersenyum mendengar pertanyaan itu, lalu menjawab, “Tugas sangat penting di pekerjaan saya ialah membunyikan lonceng gereja itu, Pak. Saya tidak boleh tidak tepat waktu ketika harus membunyikan lonceng pada pukul enam pagi, dua belas siang, dan enam petang, karena semua orang yang mendengar akan mencocokkan jamnya, dan bagi orang Katolik pasti lalu berdoa.”

Pemilik toko jam lalu terkekeh-kekeh dan berkata, “Pak, terima kasih banget. Perlu bapak ketahui, setiap kali saya mendengar suara lonceng gereja itu, saya mesti melihat semua jam yang ada di toko ini, khawatir kalau-kalau ada yang meleset beberapa detik.”

Sapa wanteg?

Kisah dua tokoh ini sangat menarik dan inspiratif. Tanpa saling mengenal pun, ternyata keduanya saling membutuhkan, saling menggantungkan, saling menaruh kepercayaan dan saling memberi harapan pasti, saling meneguhkan dan menguatkan; dan ending-nya mereka saling berterimakasih karena sama-sama berjasa dalam pekerjaan masing-masing.

Baca juga Nempil

Inilah contoh sangat konkret perihal wong wanteg. Bacalah kata wanteg ini seperti Anda mengucapkan “Saya baru saja selesai memberikan bimtek, bimbingan teknis,” atau Anda bergumam: “perusahaan sebesar Sritex ternyata punya utang juga, ya?” Dan kalau Anda harus menulisnya, wanteg harus berakhir dengan huruf G, bukan berakhir huruf K atau huruf lainnya.

Wanteg itu artinya (1) kukuh, bakuh, kokoh, kuat; (2) ora luntur, tidak luntur dalam konteks warna; dan (3) ora molah-malih, tidak seperti/menjadi bunglon, mudah berubah (sikap, ideologi, pilihan, dsb).

Jadi, seseorang disebut wong wanteg, ya contoh Sunoko koster dan pemilik toko jam itu. Wong wanteg adalah wong sing bisa dipercaya lair batine, bahkan tidak kenal sekali pun.

Partai, politisi,  pejabat, lembaga, dan siapa pun deretan nama atau pun lembaga dapat disebut dengan tambahan kata wanteg manakala …………. (ngerti dhewe sampeyan!). Dan ternyata, semesta Indonesia memberitahu betapa ora gampang menemukan wong wanteg saat ini, karena begitu banyaknya orang atau pun bahkan mungkin lembaga sing gampang luntur.

Sapa luntur?

Sering orang memelesetkan iklan berbunyi “Ditanggung tidak luntur” seraya dibalik membacanya: “luntur tidak ditanggung”. Nah……….inilah contoh luntur itu, banyak pihak tidak berani memberikan jaminan berhubung saking banyaknya orang mudah luntur, entah semangatnya, entah ideologinya, entah pula preferensi-preferensinya.

Kemarin-kemarin sih pilih abu-abu, ehhh lha kok sekarang berubah pilih kotak-kotak misalnya.  Wingi sih ngetan, lha kok saiki ngidul, kemarin sih  kearah timur, ehhh sekarang ke selatan. Luntur.

Luntur memiliki tiga makna, yaitu satu, katut ilining banyu, mudah terbawa arus; dua, wutah, tumpah dan/atau hilang warna atau pun sikap dasar berhubung tergerus pengaruh lain; dan tiga, runtuh atine, lunglai ketegaran hati dan sikapnya karena suatu sebab.

Ada masalah (besar?) terkait luntur ini manakala lunturnya itu lalu nglunturi, yaitu warna yang luntur itu menyebabkan pakaian lain (karena dicuci bareng) tercemar karena kena imbas darinya. Dan dalam kehidupan politik terutama, sangat tampak benar orang-orang yang kelunturan karena ada orang-orang yang ngluturi tadi.

Pesan moralnya sangat jelas, yaitu (a)  mari belajar dari Sunoko koster dan pemilik toko jam tadi; (b) mari refleksi diri: Aku kalebu wong wanteg apa dudu, ya?; dan (c) lamun sira mula milih luntur, mbok aja nglunturi, apabila pilihanmu memang mau luntur, sebaiknya jangan mengajak/memengaruhi  orang lain luntur juga.

Cetha ta, Luuurrrrr?

JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Soegijapranata Catholic University