Oleh Marjono
MASIH ada waktu, masa kampanye pemilu 2024, sejak 28 November 2023-10 Februari 2024. Christopher Wlezien (2010) mendeskripsikan kampanye Pemilu sebagai salah satu cara yang digunakan untuk menarik perhatian orang lain terutama pemilih. Kampanye yang terjadi dari waktu ke waktu bervariasi modelnya dan memiliki efek yang berbeda.
Sementara itu, Rogers and Storey (2010) mengartikan kampanye sebagai serangkaian tindakan atau perbuatan komunikasi yang sudah direncanakan dan memiliki tujuan untuk menciptakan suatu efek tertentu dan berjumlah besar di khalayak, dilakukan secara berkesinambungan, dan secara kurun waktu tertentu. selain banyak membahagiakan bagi paslon, tak sedikit pula yang mengernyitkan kepedihan, terutama kala usai kampanye pada tempat tertentu yang menghadirkan massa dengan meninggalkan sampah yang berserakan alias tidak membuang sampah pada tempatnya.
Pada area kampanye yang kerap menyisakan jejak sampah dalam beragam variannya. Ada sampah kertas dari beragam brosur, leaflet, modul, buku,dan sebagainya. Begitu juga limbah plastik, bisa saja bersumber dari bungkus permen, mie instant, bungkus roti, bungkus makanan ringan, limbah air mineral, dan lainnya, pun sampah dari kain, misalnya bekas spanduk, baliho, bekas ikat kepala, kaus maupun limbah puntung rokok. Belum lagi limbah karung, papan/kayu bekas mewadahi barang dalam jumlah besar bahkan di sana-sini juga berceceran sampah-sampah sisa makanan.
Semua itu tentu saja menerbitkan pemandangan yang tak sedap di mata, dan jika terlambat merapikannya, bukan tak mungkin menimbulkan soalan baru, yakni polutan bau ataupun udara yang menyesakkan. Barangkali ke depan, tim kampanye atau panitia selalu menyediakan bak sampah, tong sampah, karung sampah. Juga menyiapkan tim sapu bersih sampah.
Tak bosan-bosannya menyerukan, dan mengajak hingga memberi contoh kepada khalayak untuk bertanggungjawab atas pembuangan sampah yang diproduksi oleh dirinya sendiri maupun kelompoknya. Kita pastikan semua tim dan panitia sepakat mengusung salah satu misinya menarik isu lingkungan ke ruang publik dalam kegiatan kampanye.
Selain introdusir, menggeber program, visi dan misinya, alangkah indahnya ketika seluuh Tim dan atau panitia mauun EO menyuarakan pesan dan aksi hingga nilai edukasi bagaimana merawat lingkungan, membuat awet usia bumi dan seisinya. Praktik yang dianggap kecil dan sederhana seperti membuang sampah pada tempatnya, minimal pada agenda dan area kampanye membawa nilai plus bagi jagoannya sehingga akan berdampak pada sokongan suara di hari pencoblosan nanti.
Itu baru soal sampah yang terhampar satu titik, misalnya, belum juga yang menumpuk di indoor belum lagi soal sampah-sampah visual dari iklan politik seakan sudah menjadi satu paket dengan penyelenggaraan tiap musim pemilu. KPU dalam aturan terbarunya hanya menentukan titik-titik yang boleh dan dilarang dipasangi APK (alat peraga kampanye), seperti di tempat ibadah, rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan, tempat pendidikan, gedung milik pemerintah. Mengacu pada PKPU 15 Tahun 2023, jumlah APK tak lagi dibatasi.
Artinya, peserta pemilu dibebaskan memasang dengan jumlah berapa pun, sesuai kesanggupan masing-masing. Regulasi ini pun berpotensi menambah terjalnya produksi sampah yang butuh penanganan secara arif.
Kondisi pemasangan APK yang belum sepenuhnya teratur, di tempat yang tidak sesuai atau sembarang, bisa mengurangi keindahan dan kenyamanan kota. Itu menjadi bagian dari sampah visual. Begitu pula, penggunaan bahan alat peraga kampanye yang tidak ramah lingkungan hingga kini menjadi permasalahan klasik dalam pelaksanaan Pemilu dan Pilkada (Miranti & Abidin, 2009; Yulianto, 2014).
Selain minimnya kepatuhan dalam pemasangan APK, fakta di lapangan tak sepenuhnya atribut menggunakan bahan ramah lingkungan. Padahal, Pemilu dan Pilkada dilaksanakan agar Indonesia lebih beradab, mencerdaskan kehidupan bangsa, memberi manfaat bagi sosial, budaya, ekologi, hingga estetika. Penggunaan APK yang tidak ramah lingkungan dapat berdampak pada kerusakan lingkungan dan menciptakan ketidakseimbangan ekologi.
Eco-democracy
Sekali lagi kampanye atau pun agenda politik di ruang terbuka, apalagi dibalut semacam performance konser musik, seringkali jika tidak boleh dibilang selalu, meninggalkan sampah dari pengunjung yang hadir.
Dikutip dari laman voi.id/bernas (30/11/2023) merujuk hasil laporan riset yang dilakukan Net Zero Waste Management Consortium dan Litbang Kompas, sampah di enam kota, yaitu Medan, Samarinda, Makassar, Denpasar, Surabaya, dan DKI Jakarta didominasi oleh kemasan atau serpihan plastik yang sulit diolah, kurang bernilai ekonomi, dan mudah tercecer.
Luaran penelitian tersebut menunjukkan bahwa serpihan sampah plastik berbagai merek merupakan jenis sampah terbanyak dengan total 59.300 buah. Urutan kedua ditempati plastik keresek sebanyak 43.597, dan disusul bungkus sebuah merek mie instan yang mencapai 37.548 buah. Sampah gelas plastik air minum dari sejumlah merek juga termasuk yang paling banyak ditemukan.
Salah satu resep mujarab untuk mereduksi dampak kampanye terhadap kerusakan lingkungan adalah dengan melakukan kampanye secara digital. Kampanye digital diyakini dapat menjangkau pemilih secara tepat dan lebih luar sehingga kampanye untuk mengenalkan calon juga dapat tersalurkan. Selain itu, kita menanti tindakan dan sangsi tegas bagi panitia atau parpol pengusung kampanye jika menyisakan sampah di lokasi kampanye dan sekitarnya.
Maka kemudian, para politisi dan pengambil kebijakan mesti peka terhadap kondisi lingkungan sehingga mulai mendorong eco-democracy atau demokrasi yang prolingkungan, termasuk bagaimana mendaur ulang sampah logistik pemilu. Nampaknya, sepele tapi punya impact luar biasa, sekurangnya memasok paktik baik, membalik sampah menjadi berkah, mengurus sampah menjadi gagah dan mengelola sampah bikin hidup tak terengah-engah. Itu semua akan menjadi suntikan budaya dalam memberdayakan sampah bernilai tambah.
Kita ingin, soal kebersihan sampah bukan hanya problema sesaat di lapangan, alun-alun tempat kampanye atau sebatas panggung orasi, spot deklarasi tapi jauh lebih luas hingga menjadi perilaku harian seluruh anggota masyarakat.
Kita bisa membayar seseorang pekerja untuk membuang atau memunguti sampah, tapi kita tak pernah bisa membayar orang untuk peduli atas lingkungannya yang bersih atau bebas dari sampah. *
Marjono, Kepala UPPD/Samsat Kabupaten Tegal, Jawa Tengah