SEMARANG (SUARABARU.ID)– Kebijakan kesehatan Nasional dianggap belum mampu menjawab permasalahan yang dihadapi para penderita kanker payudara di Indonesia. Sejumlah upaya harus segera dilakukan, untuk mengatasi permasalahan itu.
”Berbagai upaya sosialisasi sudah cukup gencar dilakukan, tetapi ternyata kendala yang dihadapi penderita kanker payudara untuk mengakses layanan kesehatan masih saja terjadi,” kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, Rabu (25/10/2023).
Dia menyampaikan hal itu, saat membuka diskusi daring bertema ‘Pekerjaan Rumah dalam Memperingati Bulan Kesadaran Kanker Payudara’, yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12.
BACA JUGA: Tembang Dandang Gula, di Event Wisata Malam Jalan Malioboro
Diskusi yang dimoderatori Anggiasari Puji Aryatie (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu, menghadirkan dr Lily Kresnowati MKes (Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan), Iene Muliati SSi MM FSAI GRCP GRCA IPMP (Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional).
Kemudian ada pula, dr Theresia Sandara MHP (Ketua Tim Kerja Pengendalian Kanker Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit/P2P Kementerian Kesehatan RI) dan Aryanthi Baramuli Putri SH MH (Ketua Umum Indonesian Cancer Information and Support Center Association /CISC) sebagai narasumber. Selain itu, hadir pula Ratu Ngadu Bonu Wulla (Anggota Komisi IX DPR RI) sebagai penanggap.
Menurut Lestari, yang juga penyintas kanker payudara itu menyatakan, kendala yang masih dihadapi para penderita kanker payudara antara lain, sulitnya mengakses pengobatan yang standar maupun lanjutan.
BACA JUGA: UKSW Gelar Sarasehan BIPA dan Pariwisata Jateng
Demikian juga pengobatan paleatif dan ketersediaan obat untuk kanker HER 2 positif, yang belum banyak tersedia. Sehingga penderita harus terus berjuang untuk mendapatkan terapi yang tepat.
Rerie, sapaan akrab Lestari berpendapat, pekerjaan rumah dalam meningkatkan pelayanan pada penderita kanker payudara masih banyak. Sementara kasus kanker payudara terus bertambah.
Rerie, yang juga legislator dari Dapil II Jawa Tengah itu mendorong, agar masa tunggu pasien saat terdiagnosa kanker hingga mendapat tindakan, semakin pendek dan cepat.
BACA JUGA: Dema USM Gelar Rakor III
Anggota Majelis Tinggi Partai Nasdem itu menilai, perlu political will yang kuat dari para pemangku kebijakan, untuk mengatasi sejumlah kekurangan pada pelayanan kesehatan, dalam upaya menekan angka penderita kanker payudara di Tanah Air.
Sedangkan Lily Kresnowati mengungkapkan, per September 2023 jumlah keanggotaan BPJS Kesehatan tercatat 262 juta orang, atau 94,64 persen jumlah penduduk. Untuk cakupan kepesertaan, tersebar di 27 provinsi dan 371 kabupaten/kota. Diakuinya, total pemanfaatan BPJS kesehatan meningkat, dari tahun ke tahun.
Menurut dia, proporsi biaya penyakit berdampak katastropik seperti kanker payudara, pada 2022 meningkat berkisar 21,5-28,4 persen, dari total pelayanan kesehatan rujukan.
BACA JUGA: Baznas Kota Tegal Bantu 83 Siswa Yatim dan Dhuafa
Diakui Lily, BPJS Kesehatan juga bisa dimanfaatkan untuk skrining kanker, seperti kanker serviks dan kanker payudara, yang bisa dilakukan satu tahun sekali.
Diungkapkan pula, berdasarkan Perpres No 82 Tahun 2018, proses pelayanan kesehatan yang dibiayai BPJS Kesehatan, dilakukan secara bertahap sesuai kebutuhan medis dan kompetensi fasilitas kesehatan, dimulai dari fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) terdaftar, kecuali dalam keadaan kegawatdaruratan medis.
Selain itu, Permenkes No 54 Tahun 2018 juga mengatur pemberian obat kanker, dilakukan di fasilitas kesehatan Tingkat 3 atau fasilitas kesehatan Tingkat 2, yang memiliki kapasitas untuk memberikan pelayanan kemoterapi, seperti memiliki tim onkologi, perawat onkologi, dan apoteker, yang telah dilatih khusus untuk memberikan kemoterapi.
BACA JUGA: Kepala Kanim Wonosobo, K A Halim : “Jadikan Wartawan sebagai Mitra, Teman dan Sahabat!”
Sementara itu, Iene Muliati berpendapat, penyakit kanker yang menakutkan itu menyebabkan masyarakat menghindar untuk melakukan deteksi dini.
Menurutnya, ada sejumlah tantangan dalam pengobatan kanker payudara, antara lain terkait keterbatasan jumlah tenaga kesehatan yang memiliki kapasitas yang memadai, untuk pengobatan kanker payudara.
Selain itu, sosialisasi dan edukasi terkait kanker payudara yang dilakukan saat ini juga belum maksimal. Kalau pun ada sosialisasi, hanya terbatas pada komunitas yang terbatas.
”Padahal kesehatan ibu dan bebas dari kanker payudara sangat fundamental untuk diwujudkan. Kami berharap, advokasi dan sosialisasi tentang kanker payudara juga ditujukan kepada para pemangku kebijakan, sehingga kebijakan yang dihasilkan dapat benar-benar efektif, dalam menekan angka kasus kanker payudara di Tanah Air,” tegas dia.
Riyan