blank
Pengamat Kebijakan Publik, Pudjo Rahayu Risan. Foto: Dok/SB

Oleh: Pudjo Rahayu Risan

SEMARANG (SUARABARU.ID) – Belakangan ini publik sedang dihebohkan dengan pakaian bekas impor yang dilarang.

Sementara permintaan publik sangat tinggi. Padahal, sejak tahun 2015 pemerintah resmi melarang aktivitas impor pakaian bekas lewat Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51 Tahun 2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor.

Itulah fenomena yang terjadi dikalangan khalayak ramai. Satu sisi ekonomi orang perorang daya beli belum pulih, disisi lain wabah ”hedonisme” banyak bermunculan. Ini langsung atau tidak langsung, akan mempengaruhi gaya hidup otang banyak. Pakaian kepinginnya bermerek (branded) sementara harga yang baru apalagi impor jelas sangat mahal dan sulit terjangkau.

Titik temu inilah yang menyebabkan laris manis laku keras pakaian bekas impor menjadi pilihan. Dipandang sangat menguntungkan kedua belah pihak, penjual dan pembeli. Pada konteks ini tidak ada yang dirugikan, bahkan saling diuntungkan.

Namun demikian sebenarnya membanjirnya pakaian bekas impor sangat merugikan kita sebagai bangsa yang sedang bergerak membangun pulihnya perekonomian, sekaligus harkat martabat dipertaruhkan, dimana pakaian-pakaian termasuk sepatu, tas dan sebagainya dimana sampah di Indonesia diperdagangkan secara terang-terangan.

Baju bekas impor, atau thrifting adalah istilah yang diambil dari bahasa Inggris ‘Thrift. Arti thrifting adalah aktivitas menjual atau membeli barang bekas yang masih layak pakai, umumnya pakaian.

Apa Ruginya ?

Paling terpukul dengan maraknya transaksi jual beli pakaian bekas impor adalah mengganggu industri domestik. Pakaian bekas impor dapat dengan mudah ditemukan, baik di pasar tradisional, mal, bahkan dijual di platform belanja online. Pola ini jelas akan melemahkan bahkan sangat mungkin mematikan UMKM yang justru sedang digalakan sebagai kekuatan ekonomi dalam negeri. Disamping memperkokoh kemandirian ekonomi dalam negeri sekalighus membuka peluang tenaga kerja sebagai wira usaha yang mandiri.

Dari sisi harga produk dalam negeri termasuk UMKM jelas bersaing dengan produk yang bermerek walau bekas sulit bersaing. Bisa dibayangkan public tentu akan memburu pakain bermerek walau bekas dengan harga yang sangat tidak masuk akal apabila diproduksi sebagaimana lazimnya. Harga jual dilapak-lapak, mal bahkan lewat platform belanja online bisa ditemukan mulai dari Rp. 5.000, intinya harga sangat miring untuk produk luar negeri dan branded.