Ilustrasi Gizi Buruk.
Jateng Rawan Gizi Buruk

SUARABARU.ID – Hubungan antara gizi dan pembangunan bersifat dua arah. Artinya, gizi menentukan keberhasilan suatu bangsa, begitu pula sebaliknya. Kondisi suatu bangsa dapat mempengaruhi status gizi penduduknya.

Asumsi itu senada dengan fakta bahwa salah satu penentu kesejahteraan adalah terpenuhinya kebutuhan gizi masyarakat. Ketika asupan gizi makanan tercukupi, kualitas sumber daya manusia meningkat.

Kecukupan gizi ini dapat dihitung berdasarkan kalori dan protein yang dikonsumsi. Berdasarkan Permenkes No. 28/2019, AKG yang direkomendasikan untuk orang Indonesia adalah 2.100 kkal per penduduk per hari dan 57 gram protein per penduduk per hari.

Hasil Survei Sosial Ekonomi dan Nasional
(Susenas) Maret 2021 juga menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi kalori dan protein per penduduk per hari melebihi standar kecukupan gizi.

Pencapaian gizi masyarakat ditentukan oleh kuantitas, kualitas, dan pemahaman masyarakat. Jumlah konsumsi dapat dibaca dari jumlah makanan yang dimakan, sedangkan kualitas makanan dipengaruhi oleh keserbagunaan bahan makanan yang berbeda dan keseimbangan konsumsi. Budaya konsumen, tingkat pendidikan, dan tingkat ekonomi dinilai memengaruhi bagaimana masyarakat memahami konsumsi pangan.

Menurut laporan Badan Ketahanan Pangan Provinsi Jawa Tengah, konsumsi dapat dihitung berdasarkan kecukupan asupan kalori. Konsumsi energi penduduk pada tahun 2021 tercatat sebesar 2.054 kkal per orang per hari.

Jumlah tersebut menurun dibandingkan tahun 2019 yang nilai rekomendasinya mencapai 2.151 kkal per orang per hari dari Widyakarya XI Pangan dan Gizi 2018, yaitu 2.150 kkal. Adapun konsumsi protein masyarakat pada tahun 2018 sebesar 60,61 gram per kapita per hari, melebihi anjuran asupan protein Widyakarya Pangan sebesar 57 gram per kapita per hari.

Mengenai kualitas konsumsi digunakan Pola Pangan Harapan (PPH) sebagai indikatornya.
PPH dipengaruhi oleh keragaman dan keseimbangan konsumsi antar kelompok pangan.

Sementara perihal komposisi makanan, bagaimana pun juga komposisi sereal atau biji-bijian masih merupakan barang yang paling banyak dikonsumsi. Menurut data terbaru, kelompok biji-bijian menyumbang 59 persen dari total konsumsi energi, sedangkan bagian idealnya adalah 56,4 persen.

Besarnya minat masyarakat Jawa Tengah terhadap beras juga ditunjukkan oleh konsumsi per kapita yang saat ini mencapai 88,8 kilogram per kapita dan tahun.

Peran yang sama pentingnya berlaku pula untuk bahan makanan. Ketersediaan pangan tanpa pemahaman tentang perawatan yang baik dapat menurunkan nilai gizi potensial.

Pada saat kekurangan makanan atau ketika harga pasar naik, orang harus mampu menciptakan alternatif untuk mengisi makanan. Sebagai contoh, mengatasi gejolak harga beras dengan mengganti beras dengan sumber karbohidrat lain seperti singkong, ubi jalar, sukun atau jagung.

Kurangnya pemahaman masyarakat tentang pengolahan pangan dapat menyebabkan
situasi kerawanan pangan. Terlepas dari faktor ekonomi dan pengaruh budaya, masyarakat
yang memahami pengolahan pangan lokal dapat menangkal kemungkinan terjadinya kekurangan pangan bahkan gizi buruk.

Pada 2021, terdapat 2.443.282 kasus gizi buruk anak di Jawa Tengah. Pada 2017, terdapat 170.891 balita di Jawa Tengah, dengan rincian 3,8 persen gizi buruk, 14,0 persen gizi buruk, 80,4 persen gizi baik, dan 1,8 persen gizi lebih.

Pada tahun yang sama, menurut data PSG, prevalensi stunting sebesar 28,5 persen tersebar di seluruh wilayah/kota dengan rentang prevalensi, terendah 21 persen di Kota Semarang, dan tertinggi 37,6 persen di Kabupaten Grobogan.

World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa batas gangguan kesehatan untuk indikator bayi kecil dan sangat kecil (penurunan) adalah lebih dari 20 persen, sehingga dapat dikatakan seluruh wilayah administrasi daerah/kota Jawa Tengah masih menghadapi masalah gizi kronis yang tidak menyakitkan.

Oleh karena itu, upaya yang luas harus dilakukan untuk menurunkan prevalensi stunting terutama di 11 daerah prioritas yaitu Kabupaten Grobogan, Kabupaten Magelang, Kabupaten Blora,Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Tegal, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Rembang, Kabupaten Pati, Kota Pekalongan, Kabupaten Kebumen dan Kabupaten Batang, agar masyarakat paham akan memenuhi kebutuhan pangan secara mandiri dan berkearifan lokal.

Fadhyl Muhammad Irhab Ra’uf, mahasiswa Teknologi Hasil Pertanian Universitas Semarang