blank
Ilustrasi/Kompas Regional

Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga

blank
JC Tukiman Tarunasayoga

Siapakah yang disebut “mereka yang sangat menjengkelkan” itu? Nah …. inilah nasib wong yen lagi dadi lakon; yaitu dijadikan bahan pembicaraan dimana saja dengan konotasi jengkel, bahkan barangkali tidak kurang sing misuh-misuh.

Itulah yang sedang menimpa seorang FS dan gangnya, bahkan sangat mungkin akan berimbas kepada banyak personel/pihak, dan entah siapa lagi nantinya.

Mengapa mereka itu disebut-sebut sangat menjengkelkan oleh publik/khalayak Indonesia? Salah satu jawabannya, ialah karena mereka telah menempuh cara-cara dora, dorasembada lan doracara.

Dora

Bacalah dora ini seperti Anda mengucapkan dosa, coba, loma, suwarga (keempatnya itu kata bahasa Jawa), atau kalau dalam bahasa Indonesia seperti Bung Karno, gunung Bromo, atau bisa juga kuno.

Baca Juga: Nestapa Dicopot Jabatannya: Bombang Ora Bombong

Arti dora itu goroh (di beberapa daerah orang mengatakan geroh), yaitu (1) kandha ora nyata, (2) ora cetha, lan (3) ngapusi. Ketiganya berkonotasi menipu, bohong, termasuk bohong-bohongan. Siapa tidak jengkel bahkan misuh-misuh jika ternyata kita ini dibohongi saja oleh mereka itu?

Rupanya, mengingat ini gerakan sebuah  “gang,” wajarlah kalau siapa saja yang menjadi anggota “gang”  kudu pinter-pinter dora,  harus pandai-pandai bohong; nah dari kumulasi dora inilah berkembang yang disebut dengan  dorasembada.

Apa itu maknanya? Sebutlah dalam gang itu ada belasan orang, nah … belasan orang ini harus bisa dora dhewe-dhewe, yaitu masing-masing harus pandai berbohong dalam rangka saling nutupi. Si A bohong tentang sesuatu untuk nutupi kesalahan si B; tetapi juga si B harus pinter-pinter berbohong untuk kepeksa nutupi luputing si F.

Begitu seterusnya estafet saling menutup-tutupi itu terjadi, dan inilah dorasembada itu, yang arti lengkapnya ialah goroh amarga kepeksa kudu nutupi luputing liyan. Dalam konteks kematian J, yang disebut liyan itu rasanya FS (dan PC kah?, entahlah).

Doracara

Membaca doracara ini sama dengan membaca dora, sama juga ketika Anda mengucapkan dorasembada tadi;  dan maknanya berupa menyangatkan baik dora maupun dorasembada.

Mengapa? Doracara sertamerta menyangkut kelakuan ala, goroh banget, lan guneman goroh-gorohan, apus-apusan. Upayanya menutupi kesalahan liyan (baca pimpinan gang) semua anggota gang mau tidak mau harus menempuh tindakan-tindakan tidak terpuji, berkata serba bohong dan penuh tipu-tipu.

Baca Juga: Orang Pintar Pasti: Ora Salah Gawe, Ora Salah Kedaden, lan Ora Salah Weweng

Itulah doracara yang sudah barangtentu semakin membikin jengkel khalayak. Wajar kalau di sana-sini lalu muncul berbagai komentar yang mungkin kasar tertuju kepada mereka, bahkan mungkin juga tertuju kepada institusi. Sayang banget memang.

Rentetan dari dora ke dorasembada dan berpuncak ke doracara ini lalu dalam bahasa hukumnya disebut skenario; dan tentunya kelak akan (dan harus) terkorek betul-betul di meja hijau.

Apabila kelak benar-benar terkorek tuntas, hukuman yang akan dijatuhkan pun kelak tentu setimpal; sebaliknya kalau ada yang tidak terkorek tuntas, dikhawatirkan ada yang luput cinandra, ada yang terluputkan. Sebaiknya jangan sampai terjadi.

Pelajaran terpenting atas mengapa rentetan dora, dorasembada, dan doracara terjadi, ialah karena banyak pihak sering menerapkan ewuh-pakewuh secara tidak cerdas dan kurang berfikir kritis.

Dalam kondisi dan situasi sangat terpojok kritis dan krisis, orang tetap diharapkan harus masih mampu menggunakan akal sehatnya dengan satu kata “aku kudu golek dalan urip, dudu dalan pati.”  Dengan semboyan itu, terhindarlah kita dari tiji tibeh, mati siji mati kabeh. Ngeri!!

(JC Tukiman Taruna, Ketua Dewan Penyantun Universitas Katolik (UNIKA) Soegijapranata, Semarang)