blank
Ilustrasi/Hobs Id

Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga

blank
JC Tukiman Tarunasayoga

Sekarang ini, semua orang semakin bertambah pintar. Siapa saja semakin pintar.  Seorang kepala dinas sangatlah mungkin justru kalah pintar dari stafnya; jenderal pun dalam hal tertentu dapat saja kalah pintar dibandingkan  dengan prajurit berpangkat paling rendah sekali pun.

Anak-anak dalam usianya yang masih sangat muda pun, kepintarannya melebihi orang tuanya. Dan jangan lupa, entah dia kepala dinas, jenderal, atau orang tua juga seharusnya semakin tambah pintar kalau tidak ingin “dikalahkan” oleh anak buah.

Semakin maju dan banyaknya orang pintar, sepantasnya kita juga perlu semakin canggih  merumuskan tolok ukur kinerjanya. Tegasnya, dewasa ini, mengukur kepintaran siapa pun, jangan dilihat dari pangkatnya atau pikiran serta kebijakan yang dia omongkan, melainkan dari kinerja-nyatanya. Dan mengukur kinerja-nyata seseorang, patokannya ada tiga, yakni orang itu:  Ora salah gawe, ora salah kedaden, lan ora salah weweng.

Sala Dadi Salah

Konon, menurut Baoesastra Djawa, tembung atau kata salah itu berasal dari sala (Kawi), seperti halnya sila(kan) berasal dari sila. Arti sala memang kliru utawa salah, dan dalam perkembangan pemakaiannya, misalnya ada kata kasala-mana (sekarang masih sering terdengar) yang artinya kliru tampa.

Baca Juga: Moderat Itu, lamun Greget Aja Gregeten, lamun Kendel Aja Kumendel, lamun Wani Aja Kewanen

Bukankah semakin banyak orang pintar, namun justru semakin banyak orang yang kliru tampa, salah tangkap, salah persepsi, salah memaknai, dsb? Itulah kasala-mana; dan kalau suatu ketika mendengar kata salahasa, kata ini artinya mirip-mirip kasala-mana bahkan membawa rasa gela lan kuciwa, kecewa hati.

Dewasa ini orang pintar harus pandai atau piawai juga menghindarkan diri dari salah gawe, sebab mungkin saja orang pinter itu nindakake pakarti sing dudu mesthine, yaitu melakukan pekerjaan yang bukan semestinya.

Mestinya kalau kedudukannya kepala dinas, ya seharusnya pekerjaan yang harus diselesaikan ya semua hal yang berkaitan dengan kedinasannya. Tapi, ada lho, kepala dinas jebul kegiatannya dari menit ke jam, dari jam ke hari mung gawe konten medsos dengan berbagai foto. Kuwi salah gawe, padahal dia terpilih sebagai kepala dinas itu lewat lelang jabatan, dan pasti dianggap pintar. Eh…, jebul pintar gawe konten thok.

Ada juga sing salah kedaden (baca seperti sepamen) yakni karena dianggap (menganggap diri) pintar, seseorang lalu bertindak ora lumrah, ora kaya sing dikarepake, lan kliru patrape.

Orang ini lalu bertindak aneh-aneh, tidak sewajarnya, bahkan sangat mungkin bekerja hanya menurut seleranya saja. Lebih parah lagi kalau pinter, nanging banjur minteri; dia pintar namun terus menganggap orang lain bodoh dan lalu “orang-orang bodoh itu” dikadali.

Dari salah gawe dan salah kedaden, jika tidak terkontrol oleh lingkungannya, orang “pintar” tadi dapat menjadi salah weweng (bacalah weweng seperti Anda mengucapkan lereng gunung); yaitu nyambut gawene ora temen, ora sregep, bekerjanya tidak fokus lagi, cenderung malas, bisa-bisa salah arah.

Fokus

Di beberapa daerah weweng diucapkan menjadi wengweng, salah wengweng; dan dalam makna yang sama, agaknya dewasa ini salah weweng inilah titik terlemah orang-orang yang bekerja saat ini. Ada semakin banyak godaan untuk bekerja tidak fokus, semakin ora sregep nyambut gawe tetapi sregep ke yang lain-lain yang semestinya itu bukan urusan langsungnya.

Baca Juga: Guru Berdaya Ubah dalam Putaran Roller Coaster Merdeka Belajar

Simpulannya, pintar boleh dan harus; namun kinerja nyatanya justru harus menggambarkan kepinterannya itu; jangan dibalik: pinter jebul dinggo minteri, dan dampak langsungnya lalu bekerjanya salah gawe, salah kedaden, dalah salah weweng.

Bisa melanda siapakah salah gawe, salah kedaden, lan salah weweng ini? Dapat terjadi pada siapa saja, sing jenderal ya bisa, sing pangkate kopral ya bisa; juga mereka yang tanpa pangkat/jabatan apa pun. Mari fokus.

(JC Tukiman Taruna, Ketua Dewan Penyantun Universitas Katolik (UNIKA) Soegijapranata, Semarang)