Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga
Sudah seharusnya, layak, dan sepantasnya, kita yang telah lebih dari dua tahun “dihajar” oleh Covid-19 dengan segala variannya, berpikir dan bersikap yang kuat (taft), bukannya malah berpikir dan bersikap cingeng, cinging, lan cengeng.
Tegasnya, hari gini, apa kata dunia kalau kita masih seperti itu, makanya ayolah, aja cingeng, – bacalah cingeng ini seperti Anda mengucapkan “Aku mau beli cireng satu porsi – ,” juga aja cinging, apadene cengeng, – bacalah cengeng ini seperti Anda mengatakan “Salak ini sepet, tidak manis -.“
Cingeng, di beberapa wilayah/daerah menyebutnya dengan cengeng (seperti mengatakan cewek merengek), ialah gampang nangis, alias gembeng (ucapkanlah “matanya melek sebelah”). Masak hari gini masih saja ada orang atau kelompok yang masih gampang nangis, masih suka merengek-rengek seraya menolak segala perubahan sekecil apa pun.
Harga sebagian BBM dinaikkan, wah … ramai-ramai merengek-rengek, sementara ketika pernah harganya diturunkan, diam seribu bahasa. Jangan cingeng bin cengenglah menghadapi segala sesuatu, karena sebuah perubahan itu keniscayaan.
Di kelompok WA saya sejumlah teman merengek-rengek cingeng, karena dalam sebuah nyanyian kata “bunga” diganti dengan “kembang.” Sederhana amat, namun sudah membuat mereka sinis seraya cingeng, gampang nangis, seolah menjadi gembeng. Ora lanang!
Cingeng dapat menjadi lebih parah lagi ketika berjangkit kepada orang-orang yang gampang lara; itulah cinging. Orang (ada juga kelompok lho) yang mudah terjangkit cinging, gampang lara; dapat dipastikan ia/mereka ini lemah fisiknya maupun minta ampun mentalnya.
Sithik-sithik cingeng, banjur lara, sedikit saja tersinggung misalnya, atau kecewa, wah … menangis sejadi-jadinya, lalu jatuh sakit. Itu namanya, sudah cingeng, cinging lagi. Jika menemui pribadi semacam ini, wah ya repot tenan; dan lebih repot lagi kalau pribadi semacam ini berjangkit kepada tokoh nan punya kedudukan apalagi punya wewenang untuk memutuskan sesuatu yang bisa berlaku ke seluruh negeri.
Baca Juga: Setali Tiga Uang: Beler, Clemer, lan Cemer (Part 2)
Pertanyaannya, adakah tokoh yang seperti ini? Semoga tidak ada, namun kalau pun ada semoga ia segera dibebaskan dari cingeng nan cinging.
Kalau suatu saat leher Anda gampang terasa kaku dan pegal inilah cengeng (harus Anda ucapkan seperti mengatakan pegel, kesel; bukan seperti mengatakan cewek tadi). Konon, sejumlah ahli kesehatan berkilah, bahwa apa yang terasa di leher Anda, itu dapat menjadi salah satu penanda kesehatan organ tubuh.
Taruhlah sering terasa kaku, atau kenceng atau bisa juga pegal, entah di bagian kiri entah pula kanan atau di tengkuk; konon katanya itu symptom suatu penyakit. Ringkasnya, apabila Anda merasa cengeng, yaitu gulune gampang kaku lan pegel sebaiknya waspadailah dan beri pertolongan pertama untuk dirimu sendiri entah dengan cara digosok-gosok balsam (kalau ada), atau sekurang-kurangnya dipijit-pijit sendiri.
Baca Juga: Setali Tiga Uang: Gidhuh, Kisruh, lan Ribut (Part 1)
Lengkaplah sudah, yakni hari gini, ketika siapa saja harus berpikir dan bersikap taft (kuat) mengingat kondisi Negara Indonesia maupun dunia memang sedang sangat memerlukan orang-orang kuat dalam segala hal; mari hindari berpikir dan bersikap cingeng, cinging, dan cengeng.
Kita harus sehat lahir batin, mensana in corpore sano, sehat dan siap menyumbangkan pikiran dan sikap yang kuat seraya menjauhkan diri dari gampang nangis merengek-rengek, gampang lara, dan gampang kaku pegel gulune.
Dalam konteks hari raya Paskah yang sedang dirayakan, sangat jelas berpikir dan bersikap yang taft seperti itu dicontohkan dengan sangat jelas dalam sengsara, wafat, dan kebangkitan Yesus.
Ia benar-benar sengsara, Ia benar-benar wafat, Ia benar-benar bangkit; dan semua itu dilakoninya secara kuat, ora gampang nangis, ora gampang lara, lan ora gampang kaku/pegel gulune, apa maneh kaku atine. Ora!.
(Tukiman Tarunasayoga, Pengajar Pascasarjana di UNIKA Soegijapranata, Semarang dan UNS)