blank
Ilustrasi/Suara.com

Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga

blank
JC Tukiman Tarunasayoga

Di masa kanak-kanak saya, -sebutlah di tahun 1950 an- , mata uang seharga satu sen (sepersepuluhnya satu rupiah) masih berlaku untuk/sebagai transaksi jual-beli; bahkan juga ada yang berharga setengah sen.

Uang itu berupa uang logam, dan karena banyaknya uang logam itu beredar, ada sebutan khas untuknya, yaitu kricik. Sebutannya kricik (searti dengan  receh) karena  suaranya ketika berada di saku baju atau celana laki-laki, atau ketika dibawa di dalam kantong dhuwit: kricik …kricik kricik. Apalagi ketika dihitung ramai-ramai, wah kricik… kricik…kriciknya lebih seru.

Saat itu, sebutan untuk satu rupiah ialah sak gelo (bacalah gelo seperti Anda mengucapkan “gadis itu pintar memainkan cello, sebuah alat musik;”  atau Anda mengumpat mengatakan seseorang “bego.” Untuk menyebutkan setengah rupiah, digunakan ungkapan setengah gelo; namun uniknya untuk menyebutkan seprapat gelo (seperempat rupiah), dipergunakanlah sebutan setali.

Satuan setali terdiri atas uang logam dua sen dan setengah sen (mata uang ini berlobang di tengahnya); nah…, rupanya  dari sanalah lalu dikenal ungkapan setali tiga uang karena memang terdiri atas tiga uang kricik. Sebagai ungkapan untuk/dalam relasi sosial kemasyarakatan, setali tiga uang kemudian berkembang menjadi semacam peribahasa, yang berarti sama saja, mirip, atau kalau ungkapan zaman sekarang sebelas duabelas, tipis bedanya.

 Gidhuh, Kisruh, dan Ribut

Ungkapan setali tiga uang untuk kata-kata  gidhuh, kisruh, lan ribut sangatlah tepat untuk melukiskan berbagai peristiwa sosial dalam kehidupan sehari-hari saat ini. Lihat misalnya, apa yang sedang terjadi di sebuah organisasi profesi di bidang kesehatan, juga di organisasi kepemudaan: anane mung lagi gidhuh, kisruh lan ribut; sedang terjadi sebutlah ribut-ribut atau keributan.

Tentang “suka ribut-ribut ini,” silakan Anda mencari sendiri contoh lainnya di luar organisasi itu, -ada cukup banyak/sering kan?- , namun intinya dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menjumpai betapa gidhuh, kisruh, lan ribut sering menjadi sajian pembuka, bahkan ada juga yang menjadikannya sebagai menu utama.

Baca Juga: Lamun Bares Mesthi Beres: Dari Kendi Nusantara, Pawang Hujan GPMotor Mandalika, Isu Reshuflle Kabinet

Sampai-sampai ada ungkapan “Kudu gegeran dhisik sebelum ger-geran”  harus kisruh dulu sebelum akhirnya saling tertawa terbahak-bahak. Apakah memang perangai masyarakat kita begitu; ataukah itu semua sekedar strategi kasar untuk mencapai suatu tujuan?

Gidhuh artinya sarwa bingung satandang tanduke, serba salah; mau diam saja nanti dipermasalahkan bahkan disalahkan, mau bertindak sesuatu juga dapat menjadikannya lebih berdampak. Itulah kondisi gidhuh, dan pada umumnya kondisi itu terjadi sebagai akibat dari suasana kisruh dan ribut-ribut sebelumnya.

Kisruh berarti bingung ora karuwan, serba bingung, bahkan dalam konteks berorganisasi, kisruh juga berarti dadi rame karena muncul bermacam-macam permasalahan, protes, tuding-menuding, malahan sering terjadi percekcokan baku hantam atau banting kursi. Itulah kondisi kisruh yang biasanya dipicu oleh terjadinya ribut-ribut di awalnya.

Kembali ke pertanyaan di atas: Mengingat gidhuh, kisruh lan ribut ini setali tiga uang dalam arti saling berkaitan lewat pertalian sebab akibat, apakah benar  semuanya itu dipakai sebagai strategi kasar untuk mencapai suatu tujuan?

Kalau memang benar sebagai strategi kasar, aduh…. betapa rendahnya gradasi dan cara-cara kita berorganisasi selama ini. Di organisasi ini hampir selalu ada ribut-ribut, di ormas itu selalu tampil sebagai menu utama; di sini gambut di sana gunung, di sini suka ribut-ribut, di sana banyak kisruh gidhuh. Begitukah ciri budaya masyarakat kita dalam upaya mencapai suatu tujuan?

“Kasus” paling anyar, -semoga tidak berkepanjangan- , dengar-dengar ada pencatutan nama sebuah asosiasi, konon ketua umumnya tidak tahu-menahu mula bukane, awal mulanya, tetapi tiba-tiba ada kegiatan ini-itu atas nama asosiasinya. Sing bener endi lan sapa ya? Pihak mana yang benar, kita tunggu saja seraya berdoa janganlah setali tiga uang itu terjadi lebih parah. Isin ah!

(JC Tukiman Tarunasayoga, Pengajar Pascasarjana di UNIKA Soegijapranata, Semarang  dan UNS)