blank
(Foto ilustrasi)

Oleh : Aliva Rosdiana, S.S., M.Pd.

Dunia kritik sastra mengalami kemandegan. Dengan kata lain, erosi pemikiran sastra terjadi dalam dunia keilmuan sastra. Hal ini terjadi karena rendahnya animo pencinta sastra dan ilmuwan sastra terhadap kritik sastra. Terbukti sedikitnya kritik-kritik analisis sastra di media massa.

Kiprah kritik sastra utamanya bersifat akademis tak sesemarak pada tahun 1960-an dan 1970-an. Seolah dunia kritik sastra menemui lonceng kematiannya.

Manneke Budiman dalam Kritik Sastra dan Gerakan Estetika Sastra (2022) menuliskan banyaknya kritikus sastra yang menghasilkan karya sastra. Padahal sastra bukan melulu soal karya, tetapi juga masalah kritik. Justru kelangsungan evolusi inovasi sastra akan terjaga melalui perdebatan sastra.

Pemikir besar Sastra Indonesia Modern, Wiratmo Soekito, dalam “Minggirlah Kritik Sastra” (1984) menyatakan bahwa tugas kerja dan cara pandang kritikus sastra adalah memberi pendapat (judgment), nilai (value), dan dorongan (impulse). Cara pandang yang menempatkan kritikus sastra pada suatu karya secara objektif dan saintis. Menurutnya, pandangan kritikus sastra terhadap karya sastra adalah tidak memaktubkan kaidah-kaidah baku dalam keilmuan sastra. Namun, hal ini bisa melemahkan keberadaan sastra secara keilmuan.

Pandangan Sastrawan W.H. Hudson menyatakan bahwa kritikus sastra memberikan pandangan segar dan baru kepada publik yang seringkali berupa terjemahan ke dalam bentuk yang terbatas dan kesan-kesan yang hanya diketahui publik peminatnya secara samar, namun sukar untuk menjadi praktis.

Lebih lanjut, Rahmat Djoko Damono dalam bukunya Kritik Sastra Indonesia Modern menyampaikan tiga fungsi kritik sastra, yakni kritik sastra bagi keilmuan sastra, kritik sastra bagi perkembangan kesusastraan secara umum, dan kritik sastra bagi publik awam yang menginginkan pencerahan tentang karya sastra.

Keberadaan kritik sastra dalam bidang keilmuan sastra memberikan sumbangsih bagi perkembangan teori sastra. Akibatnya banyak teori baru dalam keilmuan sastra muncul dari  kritik sastra.

Kritik sastra bagi perkembangan kesustraan secara umum muncul melalui kerja kritik oleh kritikus, akademisi, sastrawan kreatif, dan lainnya yang mengetahui sejauh mana perkembangan dan pencapaian kesustraan setiap perputaran periode zaman.

Sementara, karya sastra bermunculan di ruang publik, seperti mensejajarkan novel Saman karya Ayu Utami tahun 1998 dengan novel Dadaisme karya Dewi Sartika tahun 2004. Sebab kedua novel ini laku keras di pasaran di eranya. Lalu esai bermunculan yang mengkritik dua novel tersebut.

Perihal kemandegan kritik sastra adalah kurang terangkatnya esai yang membicarakan karya sastra. Sebab kurangnya kesadaran serta tanggung jawab akademikus sastra terhadap keberadaan dan perkembangan keilmuan sastra Indonesia.

Penulis adalah Dosen Pendidikan Bahasa Inggris Unisnu juga Wartawan Suarabaru.id.