Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga
Sangat bisa dipahami munculnya berbagai persepsi sekitar “ritual kendi Nusantara” yang rasa-rasanya nuansanya Jawa banget; dan oleh karena itu wajar kalau muncul beberapa persepsi yang, -lagi-lagi Jawa- , luput, mrucut, serta ketrucut. Maka sebelum berlarut, kiranya perlu ada sumbang pikir perihal ini.
Di antara persepsi yang luput tentang kendi Nusantara, ialah kesan betapa nuansanya mistik, magis, klenik, dan sejenis itu. Persepsi itu tergolong luput karena (1) ora pener, tidak tepat, (2) keliru, salah, dan (3) ora kena, tidak pas.
Atas persepsi semacam itu, satu pertanyaan-balik mewakili jawabannya, yaitu: Di mana letak magis, mistis, dan kleniknya? Dalam hal “mengumpulkan air dan tanah” dari berbagai provinsikah kesan Anda betapa itu mistis, magis, dan klenik?
Janganlah Anda lupa, bahwa semua agama dan aliran kepercayaan yang ada di Indonesia ini, memaknai air biasa menjadi air suci manakala air itu dipergunakan ke dalam ibadat, entah dipercikkan, dipakai untuk membersihkan diri, diusapkan ke tubuh, dibawa pulang ke rumah untuk kelak sewaktu-waktu dipakai untuk suatu kepentingan, dst.
Intinya, air adalah salah satu simbol penting dalam ritual, contohnya orang-orang yang berziarah membawa pulang air karena memberikan simbol ngalap berkah, memberkati. Dan tentang tanah? Ingatlah, manusia berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah. Dengan kata lain, persepsi Anda betapa ritual itu serba magis, mistis, dan klenik luput.
Apa Maksudnya?
Salah satu dampak dari luput, di antaranya mrucut. Apa maksudnya? Konteks besar kita adalah ke-Nusantaraan yang simbolisasinya ialah pindahnya (lokasi) Ibukota Negara dari Jakarta (Jawa) ke wilayah Kalimantan (Timur) bahkan namanya pun bukan lagi Jakarta, melainkan Nusantara.
Konteks besar inilah yang harus kita pegang bersama, benar-benar kita pahami bersma, kita resapkan bersama sebagai/oleh bangsa dan masyarakat Republik Indonesia. Kalau kesadaran ini tidak kita pahami betul, ya itulah yang kita khawatirkan karena mrucut, yaitu uwal saka cekelan, terlepas dari pegangan.
Baca Juga: Tuwa, Idealnya Tuwas
Pegangan kita, sekali lagi, adalah keNusantaraan, maka seluruh kekayaan tanah dan air di Nusantara ini perlu disatukan sebagai kekuatan besar yang laurbiasa dan simbolisasinya ialah masing-masing provinsi mengumpulkan tanah dan air, disatukan di dalam kendi.
Sebetulnya bisa saja ditaruh di dalam ember besar, tong, dan lain sebagainya, dan kebetulan saja yang dipilih kendi karena berasal dari tanah. Intinya, ke-Nusantaraan janganlah mrucut dari pegangan kita, Bung!
Ada beberapa orang, bahkan tokoh, yang karena luput serta mrucut memahami konteks besar keNusantaraan tadi, lalu ketrucut membahas “kendi Nusantara” secara kurang seimbang seraya “mengata-katai” ini itu, contohnya kepada Presiden.
Apa yang Anda katakana itu, Bung, termasuk yang sudah disebut di atas, yakni ketrucut, kebacut dikandhakake, terlanjur ngomong (padahal sangat bisa jadi dia sendiri melakukan juga). Ada tokoh mengatakan, “mengapa pakai begitu-begitu, pantas saja investor batal berinvestasi.”
Ini pasti komentar ketrucut, dan setelah berkomentar seperti itu ia akan menyesal karena tidaklah sewajarnya tokoh mengatakan seperti itu untuk bangsa dan negaranya sendiri. Kalau misalnya ia tidak menyesal, yah… pantas dikomentari: “Teganya, teganya.”
(JC Tukiman Tarunasayoga, Pengajar Community Development Planning)