blank
Ketua DPRD Kudus Masan saat melakukan Rakor penanganan DBD bersama Dinkes dan RSUD. Foto: Suarabaru.id

KUDUS (SUARABARU.ID) – Penanganan kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) Kabupaten Kudus ternyata semrawut. Dari sisi data jumlah kasus, ternyata ada selisih jauh antara data dari Dinas Kesehatan dengan rumah sakit yang ada.

Hal tersebut terungkap saat rapat koordinasi yang digelar DPRD Kudus bersama Dinas Kesehatan dan RSUD dr Loekmono Hadi, Rabu (2/2).

Dalam rakor tersebut, Plh Kepala Dinas Kesehatan Kudus, dr Andini Aridewi melaporkan bahwa jumlah kasus DBD di Kudus periode Januari 2022 hanya ada 77 kasus dengan 1 pasien meninggal dunia.

Namun, jumlah jauh lebih tinggi justru dilaporkan RSUD. Periode Januari 2022, jumlah pasien yang dirawat di RS milik Pemkab Kudus sudah mencapai 214 orang dengan 4 pasien diantaranya meninggal dunia.

Kondisi tersebut membuat terkejut Ketua DPRD Kudus, Masan. Menurutnya, gap data jumlah kasus antara Dinkes dan RSUD menunjukkan koordinasi penanganan DBD di Kudus tidak terjalin dengan baik.

“Kalau jumlah selisihnya sedikit mungkin bisa dimaklumi, tapi ini selisihnya sangat tinggi. Ini baru dibanding dengan RSUD, belum dengan RS lain-lainnya,”kata Masan.

Dalam kesempatan tersebut, Masan juga menyoroti penanganan DBD di lapangan. Masan mengaku banyak mendapat keluhan dari masyarakat belum adanya aksi nyata dari Dinkes untuk melakukan penanganan DBD secara maksimal.

“Informasi dari masyarakat, belum ada tindakan nyata dari dinas untuk menangani merebaknya DBD,”tandasnya.

Baca juga: Kasus DBD di Kudus Melonjak Tinggi, Masyarakat Diimbau Waspada

Masan mencontohkan soal permintaan fogging dari masyarakat. Banyak permintaan fogging yang ternyata tidak mendapat tanggapan dari dinas terkait.

“Terlepas apakah fogging efektif memberantas DBD, tapi itu bagian dari sugesti masyarakat. Jadi bagaimanapun juga, sebaiknya itu dituruti sebagai bentuk pemerintah hadir,”tandasnya.

Atas kondisi tersebut, Masan menyesalkan kinerja yang dilakukan Dinkes. Bahkan pihaknya meminta agar penanganan DBD secara keseluruhan bisa dievaluasi.

“Kalau untuk urusan data saja tidak singkron, bagaimana mengambil kebijakan penanganan,”tukasnya.

Menanggapi hal tersebut, Plh Kepala Dinas Kesehatan dr Andini Aridewi mengatakan, ketimpangan data jumlah kasus DBD yang terjadi dikarenakan Dinkes mendasarkan data pada aplikasi e-DBD yang disusun atas laporan Kewaspadaan Dini Rumah Sakit (KDRS).

“Karena data yang dinput dalam aplikasi tersebut segitu, maka data yang masuk ke dinas yang segitu,”ujarnya.

Namun demikian, jika ada ketimpangan data, Andini menyatakan akan segera melakukan sinkronisasi data lebih lanjut. Pihaknya akan meningkatkan koordinasi secara lebih erat dengan RS dan faskes yang ada.

Sementara, terkait permintaan fogging masyarakat, menurut Andini, ada alasan tertentu yang didasarkan pada strategi nasional yang ditetapkan pemerintah pusat.

“Dari hasil penelitian, fogging tidak efektif memberantas DBD. Selain itu, fogging menggunakan bahan bersifat toksin yang berbahaya bagi makhluk hidup lainnya,”ujarnya.

Selain itu, fogging baru bisa dilakukan jika terlebih dahulu dilakukan penyelidikan epidemologi diantaranya ditemukan kasus, serta terdapat jentik nyamuk di lingkungan tersebut.

“Jadi, untuk penanganan DBD, kami mengacu pada strategi nasional dengan menggalakkan PSN,” ujarnya.

Baca juga: 1 Rajab Jatuh Hari Kamis, Bagaimana yang Terlanjur Puasa Hari Rabu?

Di samping itu, kata Andini, Dinkes juga telah menyebar alat rapid khusus bagi pasien DBD. Sehingga jika ada pasien yang mengalami demam, bisa secepatnya dilacak apakah menderita DBD atau tidak.

“Rapid ini untuk penegakkan diagnosis awal seorang pasien terkena DBD atau tidak,”tandasnya.

Tm-Ab