blank
Ilustrasi/kemenag.go.id

Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga

blank
JC Tukiman Tarunasayoga

Tak seorang pun, – terutama ketika sedang kuliner berburu nasi goreng  dan  mie goreng atau kuah – , terluput dari pertanyaan ini: “Mau pedas atau tidak pedas?”  Tak luput pula muncul jawaban: “Aku sedhengan bae” yakni setengah pedas; bahkan yang sering muncul sebagai jawaban ialah “lumayan ya,” dan itu maksudnya sama yakni setengah pedas.

Nah … Itulah yang disebut dengan mejana, sebuah kata bahasa Jawa yang pengucapannya sama dengan ketika Anda mengatakan aja sembrana; dan mejana sendiri berarti sedhengan, rada, tanggung, utawa lumayan.

Orang Inggris akan mengatakan So so. Maka, ketika seseorang memesan mie kuah seraya mengatakan “Kula mie godhog lumayan,” sang penjual sudah dengan sendirinya tahu bahwa pemesan itu hanya minta dua cabai saja; sementara kalau pemesan mengatakan pedhesssss, nah itu berarti cabainya harus lebih dari lima biji.

Apa itu tiba mejana? Tiba, – banyak orang menuliskanya tibo seperti pengucapannya – ,  memiliki banyak arti, seperti dhawah (jatuh), ambruk, mendarat, kepener (pas banget), dan nandhang (mengalami).

Dan ketika kata ini dirangkai dengan mejana, – menjadi tiba mejana – , maknanya ialah sarwa sedhengan, yakni serba jalan tengah, tidak ekstrem kanan, kiri, atas, bawah.  Itulah moderat, dan apa yang sebaiknya dilakukan oleh seorang moderat, adalah melakukan moderasi.

Baca Juga: Beda Sowan dari Sonjo

Tiba mejana adalah watak kita berbangsa, bernegara, berkemasyarakatan, berperikemanusiaan, bahkan dalam implementasi berketuhanan Yang Maha Esa pun sangat pas bila tiba mejana, moderat.

Kalau contoh di awal tulisan ini terkait dengan selera masakan (pedas atau tidak pedas); kehidupan sosial berbangsa dan bernegara pasti tidak dilandaskan pada selera, namun harus pada semangat. Inilah semangat moderasi, semangat jalan tengah, semangat tidak ekstrem kanan, kiri, atas, bawah, semangat nyumadulur (bersaudara), semangat sumanak (tidak garang).

Platform bermasyarakat kita, di mana pun itu, agamanya apa pun, adalah terciptanya kehidupan bersama yang sumanak sumadulur yaitu ramah, santun, bersaudara; dan itu berarti harus dibuang jauh-jauh sikap-sikap mau menang sendiri (mumpung mayoritas misalnya), bersikap garang menebar ketakutan, atau pun menjadi pongah.

Berkepribadian moderat tidaklah berarti tidak punya atau bahkan kehilangan prinsip hidup. Bukan. Berkepribadian moderat sehingga penuh gaya hidup moderatif justru memberi ruang lebih leluasa untuk menyatakan prinsip Anda, hanya saja jalan yang ditempuhnya itu santun, tiba mejana. Di sinilah nilai tambah berbangsa dan bernegara di bumi pertiwi Nusantara ini: Moderasi Beragama.

(JC Tukiman Tarunasayoga, Pengamat Kemasyarakatan)