blank
Foto: dok/pixabay

Oleh: Muamar Riza Pahlevi

blank
Foto: dok/sb

PROGRAM Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan dari Desa untuk Indonesia, menjadi salah satu program Komisi Pemiliham Umum (KPU) RI, pada tahun 2021 ini. Program ini bertujuan, menjadikan desa sebagai salah satu basis dalam pembangunan demokrasi.

Desa sebagai bagian dari sistem pemerintahan yang terendah ini, langsung bersentuhan dengan masyarakat. Apalagi di desa sejak awal sudah tumbuh sistem demokrasi, berupa pemilihan langsung kepala desa.

Desa sebagai basis dalam pembangunan dinilai sangat tepat. Sehingga layak menjadi program yang diagendakan KPU. Karena dari desa itulah, demokrasi akan terus tumbuh dan berkembang.

Dengan menjadikan desa sebagai basis pembangunan demokrasi, maka sebenarnya program ini dalam bahasa Brebesan bisa disebut, ‘sutil geni’ demokrasi. Istilah ‘sutil geni’ ini muncul dalam diskusi Selapanan, di bawah asuhan KH Miftah Anwar.

Dalam diskusi yang digelar setiap Selasa Pon, Rebo, Wage itu, diharapkan muncul ‘sutil geni-sutil geni’ dalam berbabagi aspek kehidupan, termasuk demokrasi.

‘Sutil geni’ demokrasi berarti pemantik api demokrasi, yang dimulai dari tingkat desa. Pengalaman desa dalam proses demokrasi berupa pemilihan kepala desa, sangat penting untuk dipertahankan.

* * *

Mengapa demokrasi di desa harus dipertahankan, karena dari desa itulah sumber api demokrasi dapat terus menyala. Jangan sampai sumber api itu padam, karena ulah segelintir politisi busuk yang tidak bertanggungjawab. Penyakit politisi busuk ini harus dicegah, jangan sampai menular dan merusak demokrasi di desa.

Saat ini sebagian demokrasi di desa sudah mulai dikotori dengan praktik-praktik politik kotor, berupa politik uang, sikap apatis terhadap politik, hingga masuknya ajaran yang menolak demokrasi.

Karenanya, dengan adanya desa peduli pemilu dan demokrasi ini, diharapkan bara api demokrasi di desa yang masih murni, tetap bertahan dan menyala. Dari satu desa ini, selanjutnya menjadi ‘sutil geni’ ke desa-desa lainnya.

Di desa, selain berlaku undang-undang dan peraturan lainnya yang ditetapkan pemerintah, juga berlaku hukum adat atau kebiasaan masyarakat setempat, yang dijadikan pedoman. Meski terkadang antara peraturan perundang-undangan dengan hukum adat, sering menimbulkan pro dan kontra.

Kalau ada persoalan yang terjadi di masyarakat desa itu, jika sudah diselesaikan secara adat, maka seharusnya tidak perlu dilanjutkan secara hukum positif atau hukum yang berlaku di pemerintahan. Jika ada yang memaksakan, maka seringkali muncul masalah baru di kemudian hari.

Maka sebenarnya Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan bukan hal yang baru. Bahkan bisa dikatakan, Pemilu di desa itu berlangsung lebih demokratis dan berjalan sangat dinamis.

* * *

Ini terbukti dari perjalanan pemilihan kepala desa (Pilkades) yang sudah berjalan ratusan tahun, sejak zaman Belanda. Hampir-hampir tidak ada politik uang, untuk memenangkan calon yang memang diinginkan rakyat. Hanya akhir-akhir ini saja, itu pun di beberapa desa, muncul politik uang untuk memenangkan calon tertentu.

Dr Arie Sujito, Sosiolog UGM yang menjadi narasumber dalam Webinar Desa Peduli Pemilu usai Soft Launching, justru mengatakan sebaliknya. Pemilu yang harus peduli desa. Karena selama ini masyarakat desa, yang sudah sangat peduli terhadap Pemilu. Namun seringkali usai Pemilu, masyarakat desa justru dilupakan dan ditinggalkan.

Seharusnya, usai Pemilu masyarakat desa menjadi prioritas dalam proses demokrasi yang terjadi di pusat kota. Di sinilah pentingnya program Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan, yang kemudian berimbas secara poistif, menjadi hasil dari Pemilu dan Pemilihan juga peduli terhadap desa.

Program ini semua bisa terus dikobarkan, dengan gerakan ‘sutil geni’ di beberapa desa, yang mulai redup demokrasinya. Seperti terlihat dari hasil Pemilu 2019 lalu, yang tingkat partisipasinya cukup rendah.

Seperti di Kabupaten Brebes, desa yang tingkat partisipasi paling rendah ada di Desa Lembarawa, Kecamatan Brebes.

Berdasarkan data yang ada, kehadiran pemilih yang dihitung dari DPT hanya 44,89 persen. Sedangkan rata-rata tingkat partisipasi politik pada Pemilu 2019 di Kabupaten Brebes, hanya mencapai 71 persen, masih jauh dari rata-rata Nasional yang mencapai 81 persen lebih.

* * *

Dari 17 kecamatan yang ada di Kabupaten Brebes, tingkat partisipasi tertinggi ada di Kecamatan Salem, dengan 76,44 persen. Sedangkan tingkat partisipasi terendah ada di Kecamatan Bulakamba dengan 67,16 persen dan Kecamatan Songgom dengan 67,20 persen.

Inilah latar belakang pentingnya program ‘sutil geni’ demokrasi di tingkat desa, agar bara api demokrasi di desa tidak padam. Harapannya, dengan program ini bisa diteruskan, tidak hanya di satu desa saja, tetapi di beberapa desa yang nyala api demokrasinya mulai redup.

Program ‘sutil geni’ demokrasi di Kabupaten Brebes ini bertujuan, agar tingkat partisipasi bisa meningkat. Paling tidak, tingkat partisipasinya sama dengan di tingkat Nasional dalam setiap gelaran Pemilu maupun Pilkada.

Meskipun sosialisasi yang dilakukan KPU sudah maksimal, namun harus tetap ada solusi yang berupa kearifan lokal di tingkat desa. Sehingga apa yang menjadi tujuan Pemilu dan Pilkada, benar-benar bisa terwujud.

Desa adalah ujung tombak dari pembangunan demokrasi. Mulai dari KPPS, PPDP, hingga PPS. Mereka harus mendapat support secara langsung dan terus menerus. Tidak menganggap mereka remeh sebagai penyelenggara yang paling rendah. Namun harus menjadikan mereka sebagai ujung tombak penyelenggara Pemilu, dan juga pemantik api demokrasi paling awal.

‘Sutil geni’ demokrasi ini juga bertujuan mengajak stakeholders hasil Pemilu, menjadikan desa sebagai tujuan dalam setiap programnya. Paling tidak, desa dengan masyarakatnya menjadi perhatian yang serius, dengan program-program yang nyata dan hasilnya bisa dirasakan secara langsung oleh masyarakat.

— Muamar Riza Pahlevi, Ketua KPU Kabupaten Brebes —