blank
Ilustrasi: Foto: Telset.id

blankOleh: Amir Machmud NS

SEPERTI rutinitas, baru-baru ini saya membaca link berita tragika drama keluarga dari sebuah media online. Namun, kesan rutin itu segera berubah menjadi sesuatu yang tak biasa, yang tidak mungkin disikapi sekadar sebagai rutinitas.

Saya terhenyak saat menyimak komentar demi komentar netizen yang terkait dengan berita tersebut.

Betapa tragis, seorang perempuan asal Cianjur meninggal karena disiram air keras oleh suami sirrinya, seorang lelaki dari Timur Tengah.

Kita memahami kemarahan, kegeraman, dan ungkapan rasa keberpihakan dari tanggapan-tanggapan pembaca terhadap berita itu. Dan, pastilah logikanya setiap hati akan terusik untuk mengutuk kebiadaban tersebut.

Terdapat bervarisi komentar dalam rubrik yang memang disediakan oleh media online tersebut. Ada yang menyuarakan keprihatinan, mendesak agar pelakunya diproses hukum. Terjadi pula “perdebatan primordial” antarnetizen. Yang tidak biasa, tak sedikit yang meluapkan kemarahan bernada penistaan Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA).

Dan, di situlah masalahnya. Banyak narasi yang dibangun dengan nuansa ofensif terhadap agama dan ras tertentu. Narasi-narasi itu dikemas secara vulgar dikaitkan dengan ras dan keyakinan objek berita tersebut.

Percampuran Konten

Saya mencoba mencari istilah yang tepat. Inikah fenomena penyelinapan konten media sosial ke media mainstream?

Apa pun label dan kemasannya, tentulah ini sebuah praktik penyajian informasi yang disadari atau tidak disadari telah memosisikan percampuran sifat secara ceroboh sajian duopoly media.

Dimunculkan realitas tentang praksis bermedia yang tidak memisahkan penegasan antara ruang media mainstream dan media sosial. Seolah-olah berlangsung toleransi konten yang selama ini betul-betul dijaga kesuciaannya oleh para praktisi jurnalistik.

Realitas ini patut mengundang kegelisahan para wartawan. Ibarat kita mengendalikan seekor harimau dalam kurungan penjinakan, namun pada saat yang sama sengaja melepas harimau lainnya di tengah kerumunan manusia.

Ya. Pada satu segi, ketika para penjaga nilai-nilai kewartawanan berjuang menegakkan Kode Etik Jurnalistik (KEJ), pada sisi lain ada pihak-pihak yang mengumbar keliaran pelanggaran etika dengan memberi keleluasaan ruang.

Saya merasa tidak perlu menuliskan ulang contoh narasi-narasi pembaca di rubrik Komentar yang mengikuti link berita di media online itu. Berita penganiayaan yang kemudian diproses sebagai delik pembunuhan berencana itu hanya satu di antara contoh peristiwa yang diikuti komentar riuh pembaca.

Nyatanya, begitu banyak berita yang bersubstansi isu-isu sensitif keagamaan, kriminalitas, politik, dan yang lain, selalu diikuti diksi-diksi ofensif bermuatan SARA dalam ruang Komentar.

Apalagi saat ini, tentu kita sering menyimak: sejumlah media tanpa mempertimbangkan sensitivitas isu SARA mem-blow up berita-berita tentang para pesohor yang berpindah keyakinan agama. Narasi yang dibangun, tanpa disadari berpotensi menyulut friksi hubungan antarumat bergama. Setidak-tidaknya menimbulkan perasaan tidak nyaman.

Kalau kita simak KEJ Pasal 8, maka muatan SARA dalam pemberitaan (baca: karya jurnalistik) jelas merupakan pelanggaran. Sedangkan apabila konten itu diposting di media sosial — apa pun platform-nya — tentu merupakan tanggung jawab personal pengunggahnya.

Demikianlah maka dalam persoalan konten bermuatan SARA itu, terjadi komplikasi dalam pemaknaan ruang duopoly media. Yakni antara ikhtiar menjaga etika jurnalistik di media mainstream dan ekspresi personal di media sosial.

Pertanyaan-pertanyaan

Pertama, apakah diperbolehkan media arus utama meloloskan tanpa suntingan dan tanpa verifikasi komentar-komentar publik terhadap sebuah berita?

Kedua, apabila sebuah portal berita menyediakan rubrik “Komentar”, apakah tidak harus menyunting isi dan kemasan teknis narasinya terlebih dahulu?

Ketiga, apakah rubrik “Komentar” itu tidak terjangkau oleh nilai-nilai KEJ lantaran bukan merupakan karya jurnalistik? Apabila berkonten SARA, apakah redaktur media tidak punya usikan moral untuk menyunting, menyeleksi, atau bahkan memutuskan tidak mengunggahnya?

Keempat, ketika narasi SARA telanjur tayang di media arus utama, bagaimanakah hukum menjangkau? Hanya menjadi persoalan etis yang bersanksi moral, atau masuk wilayah pidana Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik?

Kelima, ketika komentar-komentar seperti itu dianggap biasa dan hanya dimaknai sebagai bagian dari kebebasan berekspresi, lalu bagaimana dengan fungsi media untuk mengedukasi, dan kewajiban moral untuk menjadi perekat bangsa dalam agenda sosial media?

Atas Nama Viralitas

Sebagai praktisi media, saya sering digelisahkan oleh pertanyaan: atas pertimbangan apakah sejumlah media menyediakan rubrik Komentar yang justru dimanfaatkan oleh sejumlah orang untuk menyalakan api SARA?

Mengejar viralitas merupakan salah satu praktik meningkatan viewers, namun idealnya janganlah unggahan bernuansa SARA itu menjadi agenda memanfaatkan media untuk mengekspresikan sikap ofensif terhadap pihak-pihak tertentu, yang membentuk mindset “kami” dan “mereka”.

Membiarkan potensi penyebaran konten SARA jelas dosa besar pelanggaran etika jurnalistik. Apalagi dengan intensi membuka ruang yang mengakomodasi bombardemen komentar-komentar bernuansa sensitif.

Disadari atau tidak disadari, inilah fenomena media sosial yang menyelinap masuk sebagai tamu tak diundang di media mainstream. Atau jangan-jangan dia menjadi “tamu yang diundang”?

Kematangan dan sikap bijak pengelola media mesti menjadi pilihan untuk mendinginkan realitas ini. Dan, bukankah sikap itu yang bakal menyelamatkan media arus utama dari infiltrasi kepentingan (pengeksploitasi) media sosial?

— Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah.