blank

blank

Oleh: Amir Machmud NS

//…kau relakankah akhirnya// dengan melepas biarlah dia pergi?// bukankah waktu memang tak mampu mencegah// ketika sepak bola mengikat dua hati// pun berujung meremas dua rasa// perpisahan acap tak terelakkan// kau kini berumah baru// dia tetap di rumah kita…// (Sajak “Telepati Hati Suarez-Messi”, 2020)

SEMUA seharusnya mengerti dan merasakan gegalau hati Lionel Messi. Pun, memahami saat-saat Luis Suarez mengungkapankan momen perpisahan yang sangat emosional. Ada hati yang terpisahkan, ada rasa yang terpatahkan…

Akan tetapi lihatlah betapa cepat Suarez menemukan rumah barunya. Haru biru kegundahan seakan-akan dia jadikan katarsis dengan ungkapan yang tepat. Di Atletico Madrid, rumah barunya, El Pistolero hadir membahana dengan dua gol yang menandai perkenalan dengan komunitas barunya di Stadion Wanda Metropolitano.

Di tempat itu, biasanya Suarez berjuang menggelontorkan gol untuk Barcelona. Dan, kini hanya menunggu jadwal pertemuan Atleti – Barca untuk sebuah pertunjukan paradoks hati: bagaimana dia berbalik membobol gawang klub yang sangat dicintainya.

Mampukah striker Uruguay itu mengalahkan emosi jiwa untuk melawan Barca dan sahabat utamanya, Lionel Messi dalam laga yang pasti penuh komplikasi? Blaugrana telah “membuang” Suarez, tak lagi butuh jasanya dengan alasan usianya sudah merambat tua, 33, dan lebih sering dililit cedera.

Dua gol dalam laga debut untuk Atleti seperti menjadi cara dia mengejek Barca dan pelatih Ronald Koeman, bahwa Suarez masih ada. Apalagi dua gol itu dicetak dengan gaya yang khas Suarez: akselerasi bertenaga di kotak penalti, pergerakan protagonis yang licin, dan sundulan kepala dengan placing penuh kematangan teknik.

Di laga yang berbeda, Messi memulai pertandingan tanpa sahabatnya. Dia tetap kapten dengan kompetensi teknis yang disegani, namun terasa ada kekosongan jiwa. Dan, La Pulga tampak melampiaskan naluri pelayanan kerja samanya kepada bintang muda 17 tahun, Ansu Fati yang juga memperlihatkan bakat dan ketajaman dengan gol-gol eksepsional. Akankah di hati Messi, si bocah Fati mampu menggantikan Suarez yang telah pergi?

Ketika dia merayakan gol dengan gaya selebrasi Suarez, itulah pertanda dua sahabat itu memang saling terikat, dan mereka sadar tak lagi berada di satu rumah.

Pertemanan dalam sepak bola tak bisa diukur dari seberapa kuat telepati pertandeman yang menghasilkan produktivitas proses, umpan, dan gol-gol. Hati dan rasa lebih berbicara, dan ikatan itu akan terlihat mewujud tak hanya di dalam lapangan, melainkan dalam urusan personal keseharian di luar lapangan.

Suarez dan Messi membentuk relasi kimiawi persahabatan selama enam musim, sejak Barca merekrut striker kontroversial itu dari Liverpool pada 2014. Ikatan spesial yang rasanya tidak didapat Messi dalam hubungan sebaik apa pun dengan Philippe Coutinho, Antoine Griezmann, Sergi Roberto, atau Ousmane Dembele.

Belakangan, Ronald Koeman meyakini “tesis” untuk membahagiakan Leo Messi, yang akan dia matangkan dalam sistem melalui latihan-latihan. Cara membuat Messi bahagia, menurut dia adalah dengan memenangkan pertandingan.

*  *  *

JERITAN hati Messi terbaca dari Instatory-nya ketika mengiringi kepergian Suarez, sedangkan Suarez terbata-bata menahan tangis ketika secara resmi mengucap salam perpisahan.

Bagi dia, Barcelona adalah klub spesial yang mempertemukannya dengan Pemain Terbaik Dunia peraih enam trofi Ballon d’Or, juga yang pada 2015 membentuk Trio MSN (Messi – Suarez – Neymar) sebagai kombinasi penyerang paling menakutkan di dunia. Produktivitas dan aksi-aksi Trio MSN waktu itu disebut-sebut melewati batas-batas kelaziman teknis bersepak bola.

Trisula itu akan menyejarah, tak tergantikan dengan masuknya Coutinho dan Dembele, juga ketika Barca mendatangkan Griezmann dari Atletico. Sampai kemudian datang pelatih baru Ronald Koeman yang tidak menyertakan Suarez dalam proyek restorasinya. Suarez merasa dibuang begitu saja.

Protes Messi tak mengubah keputusan manajemen, maka terjadilah realitas pahit itu, kombinasi bintang Argentina dan Uruguay yang selama enam tahun menjadi jaminan ketajaman bagi Barca, akhirnya terpisahkan. Tambahan catatan, Suarez urung berlabuh ke Juventus yang semula meminati, namun “memilih lebih dekat dengan Messi”, ke Wanda Metropolitano.

Tak sedikit tandem penyerang di sebuah klub yang tidak memiliki chemistry di luar lapangan. Pada 1990-an, di ea kejayaan Manhester United, Andy Cole – Dwight Yorke memang akrab bak anak kembar yang tersambung telepati hati, namun Cole tak punya hubungan manis dengan striker lainnya, Teddy Sheringham. Padahal dalam permainan, Cole dan Teddy saling melayani.

Sepasang bek tengah tim nasional Spanyol ketika juara dunia 2010 dan Euro 2012, Sergio Ramos dan Carles Puyol/ Gerard Pigue, juga tidak punya ikatan kuat perasaan. Keduanya bermain dalam formalitas sistem. Hati mereka lebih terbawa oleh rivalitas Real Madrid dan Barcelona.

Relasi Messi dengan Suarez terbilang spesial, seperti dulu ikatan persahabatan Cristiano Ronaldo dengan Wayne Rooney di Manchester United, walaupun keduanya sempat bersitegang di perdelapanfinal Piala Dunia 2006 ketika memperkuat tim nasionalnya, Portugal dan Inggris.

Kepedihan Messi adalah gambaran betapa di tengah dinamika badai hubungan dengan manajemen Barca, dia akan menghadapi sendiri situasi barunya, minimal hingga akhir musim 2021. Sedangkan Suarez boleh jadi akan mencari pelampiasan dengan tampil penuh hasrat untuk membuktikan bahwa melepas dia merupakan sebuah kekeliruan.

Sisi lain dari hubungan semacam ini adalah kenyataan, betapa kapitalisme dalam kemasan profesionalisme sepak bola tidak akan begitu saja meluruhkan nilai-nilai hubungan antarmanusia. Ada hati dan rasa yang bicara.

Dan, dua hati itu kini terpisah dari Nou Camp ke Wanda Metropolitano. Sejarah menyisakan jejak, lalu akan tertulis lembar demi lembar jejak berikutnya. Suarez dengan rumah barunya, Messi dengan komunitas lama yang, entah mampu tetap mengikat untuk menciptakan kenyamanan atau sebaliknya…

Amir Machmud NS, wartawan SUARABARU.ID, kolumnis olahraga, Ketua PWI Jateng