Menyusuri Jejak Kerajaan Mataram Islam di Tegalwangi Kabupaten Tegal

59186
0
blank

TEGAL (SUARABARU.ID) – Lahan seluas 1,1 hektare itu terletak di daerah Tegalwangi, Desa Pesarean Kabupaten Tegal atau sekitar 5 km dari pusat Kota Tegal ke arah selatan.

Tempat ini bukanlah lahan biasa, namun di lahan yang diberi nama Tegal Arum tersebut terdapat petilasan dan makam Raja Mataram Sunan Amangkurat I, yang pernah berjasa membangun pemerintahan Mataram serta menyebarkan ajaran Islam hingga ke wilayah Barat.

Area makam yang masih mempertahankan bangunan lama dengan pagar dinding dari bata merah masih tertata rapi, bahkan jalan setapak menuju makam telah dipaving, sehingga nampak bersih dan dibalut pepohonan yang rindang serta hamparan rerumputan, menambah lingkungan tersebut menjadi bersih dan nyaman untuk di kunjungi para peziarah yang datang secara periodik.

Bangunan yang tercatat sebagai petilasan Raja-raja Mataram ini dilindungi oleh undang-undang cagar budaya Indonesia yang harus dirawat keberadaannya.

Untuk menjaga keaslian tempat tersebut masih mempertahankan pagar dan ornamen bangunan dengan bata merah meski telah mengalami pemugaran pada 1982 dan diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Dr Daoed Joesuf.

Ornamen tersebut dipertahankan karena ada kesamaan ciri khas, seperti di kerajaan Kasultanan Plered, di Cirebon Jawa Barat. Di Plered inilah Sunan Amangkurat I pernah berkuasa.

Memasuki kompleks makam raja Mataram ini kita harus melewati tiga pintu, masing masing pintu memiliki makna filosis yang masih bercampur dengan ajaran Kejawen.

Pintu pertama dijadikan penanda awal kehidupan manusia dan pintu kedua sebagai perlambang kehidupan selanjutnya. Di pintu kedua ini juga terdapat makam keturunan Sunan Amangkurat dan orang-orang yang pernah dekat dengan Sunan Amangkurat.

Di sini banyak ditumbuhi pohon sawo kecik sebagai pertanda kebaikan dari orang-orang yang disemayamkan di tempat tersebut, sedangkan pintu ketiga merupakan pintu pembatas dunia dan akhirat.

Di pintu ini kita menuju makam utama yang berbentuk bangunan Joglo dengan dinding kayu jati yang kokoh dan terletak di gundukan tanah tinggi yang konon berbau harum.

“Sunan Amangkurat minta disemayamkan di Tegal Harum atau Tegalwangi, ya di tanah gundukan di sini karena disekelilingnya diapit dua pohon yang diberi nama Tegal Arum atau Tegal Wangi,“ tutur Ustad Luhi, salah seorang pekuncen makam sunan Amangkurat.

Sedangkan di sekitar makam utama di tanah datar disemayamkan juga Ratu atau isteri pertama Sunan Amangkurat dan dua anak Sunan Amangkurat yaitu Klenting Kuning.

“Selain itu di tempat ini disemayamkan kerabat dekat kerajaan dan juga terdapat makam pendiri Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kardinah yaitu RA Kardinah, trah dari Adipati Reksonegoro, yang berada di sebalah barat,” tambah Ustad Luhi.

Perlu Pelurusan

Jika kita menelusuri sejarah Kanjeng Sunan Amangkurat yang sudah banyak dikenal masyarakat luas dan menurut pelurusan sejarah,  Yety Rohwulaningsih, MSi dengan Pemerintah Kabupaten Tegal bekerja sama dengan Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Semarang Tahun 2004, banyak hal yang perlu diluruskan.

Misalnya ditulis bahwa Sunan Amangkurat I atau Sunan Mangkurat bukanlah nama asli namun nama ketika dilahirkan bernama Raden Mas Sayidin atau Jibus atau Rangkah yang merupakan putra ke sepuluh Sultan Agung Hanyakrakusuma, Raja terbesar dinasti Mataram.

Pada masa pemerintahannya, wilayah kekuasaan Mataram meliputi seluruh Jawa Madura (kecuali Batavia dan Banten) dan beberapa daerah di luar Jawa, seperti Palembang, Jambi, dan Banjarmasin.

Sultan Agung sendiri merupakan anak kedua dari permaisuri kedua, Raden Ayu Wetan. Sedangkan Sunan Amangkurat atau Raden Mas Sayidin dilahirkan pada tahun 1619, ibunya adalah puteri keturunan Kerajaan Batang yang menjadi permaisuri pertama menggantikan Ratu Emas Tinumpak (Kangjeng Ratu Kulon) setelah diusir dari keraton dengan alasan yang tidak diketahui. Raden Mas Sayidin memiliki saudara seibu yang bernama Raden Mas Alit.

Ketika diangkat sebagai putera mahkota Raden Mas Sayidin secara resmi diberi nama Pangeran Aria Mataram. Sejak umur 5 – 15 Tahun (1624-1634) Sunan Amangkurat I pada masa awal pemerintahannya memang dikenal sangat kontroversial pada zamannya, namun salah satu aspek yang diperhatikan adalah
bangunan fisik keraton.

Dengan demikian di beberapa daerah memiliki kesamaan ciri khas arsitektur raja mataram begitu juga ketika ia memindahkan keratonnya ke Plered Cirebon Jawa Barat.

Ia juga melakukan kebijakan untuk memperkuat posisi dan pemerintahannya serta membangun trah kerajaan disana dengan
nama kasultanan Plered, Cirebon Jawa Barat.

Pada saat memerintah kehidupan politik Sunan Amangkurat I diwarnai oleh konflik dan konspirasi politik yang berkepanjangan. Kebijakan dan perilaku politik.

Sunan Amangkurat I pada waktu itu tidak dapat dipisahkan dengan responnya terhadap situasi konflik dan persekongkolan yang terjadi. Banyak persekongkolan politik yang menurut berbagai sumber bertujuan untuk menyingkirkannya atau bahkan membunuhnya.

Persengkongkolan itu melibatkan orang-orang dekat Sunan Amangkurat I, seperti: Pangeran Purbaya, Pangeran Alit, Adipati Anom, para ulama, Pangeran Kajoran, Trunojoyo dan
sebagainya.

Di masa ini serangkaian suksesi berdarah, yang mewarnai pergeseran kekuasaan di Jawa pasca runtuhnya imperium Majapahit. Kerajaan Mataram oleh Amangkurat I mampu menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil yang bertebaran di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur pasca berakhirnya imperium Majapahit.

Penaklukan ini mewariskan ketegangan politik, ekonomi, dan budaya yang berlarut-larut sesudahnya.

Pada masa pemerintahannya Amangkurat I lebih banyak mewarisi kebrutalan saja, tanpa mewarisi kreativitas dan sukses ayahnya. Kalau ayahandanya Raja Sultan Agung menaklukkan, membujuk dan melakukan manuver politik guna mencapai ambisinya, Sunan Amangkurat I hanya bisa menuntut dan membunuh.

Ia tidak menghiraukan keseimbangan politik yang diperlukan untuk memimpin negeri penuh intrik seperti Mataram pada masa itu. Ia memusatkan kekuasaan hanya untuk memenuhi kepentingannya sendiri.

Akhir Kehidupan Sang Raja 

Gaya pemerintahannya yang cenderung anarkhi (menindas), mengakibatkan raja yang bergelar Sayyidin Panatagama ini selalu dihantui ketakutan.

Dia tidak berani meninggalkan istananya di Plered yang dikawal ketat. Dia pun tidak berani mempercayakan pimpinan pasukan utama kepada orang lain.

Dengan demikian, kekejamannya sedikit demi sedikit mulai melemahkan posisinya. Kondisi ini menyebabkan para sekutu dan vasal Mataram mulai berani melawan kekuasaan Amangkurat I.

Akhir kekuasaan Amangkurat I terbilang tragis. Jeratan VOC dan pemberontakkan yang dilakukan Trunajaya — yang awalnya berkolaborasi dengan putera
mahkota, benar-benar meluluhlantakkan kekuasaannya. Dalam keadaan sakit, ia melarikan diri ke Jepara. Sialnya, di Karanganyar, rombongan raja dirampok oleh warga desa yang tidak tahu identitas mantan junjungannya tersebut.

Ia pun harus rela menyerahkan emas dan uang yang dibawanya. Hingga akhir perjalanannya yang sangat dramatis, Sunan Amangkurat Wafat 10 Juli 1677 di Winduaji dan sebelum wafat beliu meminta untuk disemayamkan di Tegalwangi, tidak jauh dari Kota Tegal kini.

Raja yang semasa jayanya pernah membantai ribuan ulama itu, dishalatkan lalu dibawa ke Tegal. Pada 13 Juli 1677, Amangkurat I dikebumikan di Tegalwangi. Pada saat itu pula tiga belas sedadu VOC menghadiri pemakamnya untuk memberi penghormatan terakhir.

– 29 Juni 1677 dari Imogiri ke Jagabaya
– 30 Juni 1677 dari Jagabaya ke Rawa
– 1 Juli 1677 dari Rawa ke Bocor (Kedu)
– 2 Juli 1677 dari Bocor ke Patanahan (Kebumen)
– 3 Juli 1677 dari Patanahan ke Nampudhadi
– 4 Juli 1677 dari Nampudhadi ke Pucang
– 5 Juli 1677 dari Pucang ke Banyumas
– 8 Juli 1677 istirahat di Banyumas, Sunan Amangkurat jatuh sakit karena kelelahan dan tertekan jiwanya
– 9 Juli 1677 dari Banyumas ke Ajibarang
– 10 Juli 1677 dari Ajibarang ke Wanayasa atau Winduaji dan di tempat itulah Sunan Amangkurat I wafat
– 11-12 Juli 1677 dari Winduaji ke Tegalwangi
– 13 Juli 1677 Sunan Amangkurat I disemayamkan di Tegalwangi atau Tegalarum.
(Sumber: Dra Yety Rohwulaningsih, M.Si : Pelurusan Sejarah Sunan Amangkurat I : Pemerintah kabupaten Tegal Bekerjasama dengan Jurusan Sejarah
Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Semarang Tahun 2004)

Akbar Budi Hardi