Oleh Amir Machmud NS
Lupakan Trio MSN (Messi, Suarez, Neymar), atau Trio MSD (Messi, Suarez, Dembele). Kini Barcelona sudah punya “mainan baru” berlabel MSG (Messi, Suarez, Griezmann).
Ketiga pemain itu punya keberlimpahan kompetensi sebagai mesin gol yang akan saling mengisi, membentuk jaringan teror mengerikan bagi pertahanan lawan. Jika Messi buntu, ada Suarez. Saat Suarez melempem, ada Griezmann.
Bedanya dari era MSN, ada faktor Neymar Junior yang punya kemampuan “sihir” seperti tradisi yang biasa hadir dari khazanah sepak bola Samba. Yang membedakan pula, MSN menjadi sumber tontonan aksi-aksi “sirkus” yang boleh dibilang di luar batas nalar sepak bola. Ketiganya memainkan sepak bola sebagai ekspresi seni, menikmati hijau lapangan dengan naluri kegembiraan, mirip anak-anak kijang yang berlarian di kesegaran sabana hijau.
Lupakan “kegilaan” bersepak bola ala seniman-seniman Amerika Latin itu. Beralih fokuslah ke trisula dengan gambaran permainan yang lebih “logis”. Messi memang berbeda berkat karunia bakat yang membentuknya ibarat “alien”, sedangkan Suarez dengan naluri gol-gol hebatnya lewat berbagai cara dan posisi. Akan halnya Antoine Griezmann, ini dia striker murni dengan kapasitas teknis mencetak gol berbekal kekuatan visi sebagai sang pendobrak.
Lalu selesaikah pekerjaan coach Ernesto Valverde?
Tentu belum. Realitasnya, Grizzou masih harus mempermatang adaptasi dengan ritme tiki-taka Barcelona, dari gaya “keras” dan direct ala Atletico Madrid yang selama ini sudah menjadi nadi permainannya.
Sempat muncul kekhawatiran, Griezmann bakal dibayangi kegagalan adaptasi seperti yang dialami Philippe Coutinho, namun terbukti dia lebih cepat menyesuaikan diri sebagai salah satu sumber gol. Dan, kini fans Barca perlahan-lahan mulai percaya bahwa trisula maut Camp Nou mulai memperlihatkan tuahnya, dan diharapkan bakal terus berkembang.
* * *
Klub sepak bola mana pun, terutama yang berbasis kekuatan finansial, pastilah punya obsesi untuk merakit elemen-elemen keunggulan di barisan penyerang lewat kecenderungan memainkan duo, trio, atau kuartet bintang yang bisa saling mengisi membangun produktivitas. Atau juga semodel taktik AC Milan di era kejayaan Tim Impian tahun 1990-an. “Rossoneri” mengandalkan pilar mata rantai antarposisi: Frank Rijkaard sebagai batu karang di lini belakang untuk mereduksi aneka krisis, Ruud Gullit sebagai patron serangan di lini tengah, dan Marco van Basten sebagai ujung tombak dengan liukan-liukan gemulai ala ballerina nan berbisa.
Baca Juga: RAHASIA UANG BALIK: DIBELANJAKAN BISA KEMBALI
Manchester United pada masa keemasan Class of 1992 juga mengandalkan duet maut Andy Cole – Dwight Yorke, disusul pasangan bomber Ruud van Nistelrooy – Ole Gunnar Solskjaer di awal abad milenial. Ketajaman duet MU itu diteruskan oleh Wayne Rooney – Cristiano Ronaldo. Namun impian mengulang duo hebat lewat Marcus Rashford dan Anthony Martial di masa kepelatihan Jose Mourinho dan Solskjaer sekarang belum membuahkan produktivitas yang memadai.
Real Madrid pernah sangat bertumpu pada keganasan Trio BBC (Gareth Bale, Karim Benzema, dan Cristiano Ronaldo) sebagai jaminan pembendaharaan gol-gol mereka. Kini pelatih Zinedine Zidane belum berhasil memadukan potensi-potensi sekualitas Eden Hazard, Vinicius Junior, Bale, dan Benzema sebagai adonan dahsyat seperti pada era BBC. Pada awal musim 2018-2019 ini, skematika Zidane belum memperlihatkan tanda-tanda hadirnya zaman emas baru.
Di Manchester City, Pep Guardiola menemukan racikan dahsyat lewat trisula Sergio Aguero dan Raheem Sterling, yang disokong oleh David Silva atau Bernardo Silva. Sedangkan Juergen Klopp memantapkan kombinasi produktif Liverpool pada Trio Firmansah — Roberto Firmino, Sadio Mane, dan Mohamed Salah. Sementara itu, Mauricio Pochettino tak mau kalah menyatukan tiga penyerang tajam Harry Kane, Cristian Erikssen, dan Son Heung-min.
Racikan-racikan skema penyerang seperti itu bukan produk instan yang lahir begitu saja. Dibutuhkan proses rumit. Selain kejelian amatan pelatih, juga ditopang oleh kekuatan chemistry antara dua, tiga, atau empat pemain yang dipadukan. “Telepati” chemistry tidak serta merta terjalin secara instan walau sehebat apa pun kualitas individu pemain. Waktu, jam terbang, dan ketelatenan dari latihan-latihan dan pertandinganlah yang akan menentukan. Bukankah setiap pemain punya ego dan gaya bermain masing-masing? Maka ide dan kesabaran pelatih untuk menyatukan potensi-potensi yang dimiliki menjadi kunci, agar jagoan-jagoan itu saling memahami, saling mengisi, menghargai, dan bekerja sama.
Cole dan Yorke, pada masanya, sampai disebut sebagai ”anak kembar” lantaran kemampuan Alex Ferguson menyatukan karakter yang melahirkan duo penggempur dahsyat untuk “Setan Merah”. Duo itu disokong umpan-umpan silang jenius David Beckham yang seperti “punya mata” mencari posisi Cole atau Yorke. “Telepati” ini mirip mata rantai kerja sama antarlini di Barcelona pada era Xavi Hernandez, Andres Iniesta, dan Lionel Messi. Ibarat semboyan The Three Musketeers, “Satu untuk semua, semua untuk satu”.
Lalu bagaimana dengan Barca sekarang? Jalinan rantai antarlini Barca boleh jadi memang tidak serancak pada era Pep atau Luis Enrique, akan tetapi pada masa kepemimpinan Valverde kini mulai tampak kelompok-kelompok kerja sama seperti Trio MSG di lini penyerang, juga munculnya darah segar dari Akademi La Masia, Carles Perez dan Ansu Fati.
Khusus tentang Griezmann, pendapat umum cenderung memahami bahwa dia masih harus terus menemukan titik adaptasi terutama dengan dua senior, Messi dan Suarez yang menjadi patron di lini penyerang.
Karena produktivitasnya di Atletico Madrid dan tim nasional Prancis-lah Barca merekrutnya. Maka yang harus dia lakukan adalah terus menerus menyatukan “rasa” dan “gaya” untuk melebur menjadi “Griezmann yang Barca”. Kemampuan teknis yang di atas rata-rata sejatinya merupakan modal bagi Grizzou untuk segera melebur sebagai bagian utuh Trio MSG.
Label trio mematikan bersama Messi dan Suarez, bagaimanapun adalah sebuah kehormatan bagi Grizzou. Dia bakal dikenang sebagai salah satu legenda Barcelona manakala mampu unjuk produktivitas di tengah sebagian fans yang masih menghendaki kehadiran kembali Neymar.
Jawabannya? Dengan bukti permainan konsisten dalam level yang mengimbangi dua pasangannya, orang bakal percaya Antoine Griezmann merupakan pilihan tepat bagi Barca yang telah dengan berbagai cara mengambilnya dari Atletico Madrid. ***