Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga
Kalau minggu lalu “Setan Nunggang Gajah” (ada yang komentar terhadap ilustrasinya: -Ceweknya matre banget)- , minggu ini tentang semut ngadu gajah. Kok bisa gajah yang begitu besarnya diadu oleh semut yang begitu amat sangat kecil? Sangat bisa!
Mari lihat berbagai peristiwa kehidupan manusia; dan di antara peristiwa-peristiwa yang terjadi, pasti ada peristiwa yang membuktikan betapa semut ngadu gajah itu benar adanya: Wong cilik ngadu wong gedhe, orang kecil dan tidak mempunyai kedudukan/posisi berarti dapat berhasil mengadu orang-orang besar dan tinggi jabatannya, sampai-sampai orang-orang besar itu saling bertengkar. Kasus Sambo yang sedang dimejahijaukan adalah contoh sangat jelas perihal semut ngadu gajah ini.
Kok bisa?
Terlepas dari proses hukum yang sedang berlangsung, dan masyarakat pasti menunggu akhir (vonis) dari serial “perkara” itu; uraian ini sekedar mau menelaah lewat menduga-duga apa saja yang terjadi di baliknya.
Baca Juga: Setan Nunggang Gajah
Apa itu? Semua pihak berusaha kareben ora konangan, siapa pun berusaha agar jangan sampai diketahui orang/khalayak aib apa yang senyatanya terjadi. Maka segala skenario dimunculkan dan mengerucut serta berintikan pada semut ngadu gajah.
Siapa gajah dan siapa semut dalam perkara ini? Dalam soal pangkat, jabatan, kedudukan dan sejenisnya, semua pihak pasti amat paham siapa gajahnya, sertamerta siapa semutnya. Namun harus diingat, dalam soal upaya menutupi aib, siapa gajah dan siapa semut tidaklah gampang ditentukan; belum lagi dalam soal terjadinya ada seseorang yang meninggal juga tidak gampang ditentukan siapa gajah siapa semutnya.
Ruwet kan? Meja hijau-lah yang sekarang ini sedang memroses itu semua, dan harapan masyarakat hanyalah satu: Hendaklah adil baik proses maupun keputusannya (vonisnya) nanti.
Wong cilik ngadu wong gedhe, semut ngadu gajah dapat terjadi karena beberapa pemicu. Pertama, sinyal hati nurani masing-masing individu yang terlibat menyala kuat karena ia tidak mau semakin jatuh terpuruk. Barang siapa mendengarkan dan mengerti akan sinyal hati nuraninya, kedudukannya semut sekali pun, ia pasti akan mengatakan secara jujur apa yang senyatanya terjadi.
Kedua, ada tekanan-tekanan tertentu, dan semakin ditekan-tekan, semut pun akan bereaksi dan sangat mungkin reaksinya bisa sangat tidak terduga: Adu saja gajah-gajah itu. “Mengadu gajah” dapat terjadi karena si kecil kepingin terbebas dari tekanan, ingin tidak terseret lebih dalam; namun sangat mungkin juga karena terdorong untuk mencari keuntungan diri sendiri apalagi ada kesempatan atau tawaran-tawaran.
Ketiga, wong cilik ngadu wong gedhe yang dilakukan oleh “kelompok wong cilik” biasanya bertujuan agar wong gedhe itu saling bertengkar. Nah …kalau yang seperti ini yang terjadi, sangat boleh jadi ada kepentingan politik lebih besar di balik itu. “Kelompok wong cilik” itupun pasti ada yang menggerakkan, ana sing ngragadi. Mungkin hitung-hitungannya, kalau wong-wong gedhe itu saling bertengkar, mudahlah nanti “dikuasai/disetir.”
Pesan Moralitas
Ada pesan moral dari paribasan semut ngadu gajah ini, seperti: berlaku dan berkeputusan adil itu maknanya semua lapisan masyarakat menikmati sama, wong gedhe apadene wong cilik, orang-orang berpangkat atau pun tidak berpangkat menghirup kesegaran yang sama; jangan ada ketidaksamaan.
Baca Juga: Man, Ijazahmu Asli, Tulen, Murni atau Palsu?
Mengapa? Wong cilik itu tetap memiliki potensi yang mungkin sebesar potensi wong gedhe, peluangnya saja yang berbeda. Dalam kondisi tidak ideal, misal tertekan, kepepet/terpojok, wong cilik sangat mudah ngadu wong gedhe karena wong cilik pada umumnya “pegang rahasia” -nya wong gedhe.
Jika mau tahu seperti apa perilaku wong gedhe, janganlah tanya kepada sesama wong gedhe; melainkan carilah dan tanyakanlah kepada wong-wong cilik yang setiap saat berada di sekitarnya, karena mereka itulah yang memegang kunci rahasianya. Karena itu, manakala wong cilik itu merasa dijadikan korban (terus-menerus), wong ciliklah yang memilik potensi ngadu wong gedhe: Semut ngadu gajah.
(JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Universitas Katolik (UNIKA) Soegijapranata, Semarang)