JEPARA (SUARABARU.ID)- Khazanah literasi yang berisi informasi tentang sejarah Jepara kembali hadir dalam bentuk buku. Jika sebelumnya buku sejarah Jepara karya Hadi Priyanto ‘Ratu Kalimyamat Reinha de Jepara’, Kartini Penyulut Api Revolusi’, Sosrokartono Biografi dan ajarannya’, atau novel sejarah karya Ulil Abshor ‘Ratu Kalinyamat Prahara di Bumi Jungpara’, kini hadir buku sejarah yang mengupas tentang perjalanan Adipati Tjitrosomo dengan judul ‘Adipati Tjitrosomo dan Jejak Pengabdiannya di Pesisir Timur Utara Jawa’.
Buku setebal 216 halaman dengan kualitas kertas glossy dan cetak berwarna ini menyajikan perjalanan Adipati Tjitrosomo I-IX yang terbentang antara tahun 1708- 1842, dimulai dari pengabdian Tumenggung Reksojiwo kepada Sultan Agung Hanyakrakusuma di Istana Mataram. Tumenggung Reksojiwo atau juga disebut Tumenggung Tjitrokusumo inilah yang kelak menurunkan trah Tjitrosomo yang keturunannya menjadi Bupati Tuban, Lasem, dan Jepara.
Pengawal Pribadi Raja
Kedekatan antara Sultan Agung dan Tumenggung Reksojiwo dikisahkan dalam cerita tutur yang diwariskan secara turun – temurun di kalangan trah Tjitrosomo. Dikisahkan, Sultan Agung saat pergi ke Jepara untuk berunding dengan VOC agar meninggalkan Jepara, ia didampingi oleh Tumenggung Reksojiwo yang juga abdi kinasih sultan bersama sejumlah prajurit. Perjalanan dilakukan dengan naik kuda. Sultan Agung menaiki kuda hitam kesayangannya, dan Temenggung Reksojiwo menaiki kuda putih. Dalam perundingan tersebut VOC menyanggupi dan meminta waktu tiga bulan untuk meninggalkan Jepara.
Usai berunding keduanya dengan dikawal prajurit kembali ke Mataram melalui Semarang. Sesampainya di Ungaran, VOC yang licik mencegat mereka dengan satu peleton pasukan bersenjata dan kemudian memuntahkan peluru ke arah rombongan sultan. Kedua kuda yang dinaiki Sultan Agung dan Tumenggung Reksojiwo berlari sangat kencang, hingga pasukan VOC tidak mampu mengejarnya.
Sesampainya di Mataram, Sultan Agung memanggil abdi kinasihnya untuk diajak bermusyawarah. Namun Tumenggung Reksojiwo tidak menjawab. Setelah didekati, Sultan Agung sangat terkejut dan sedih. Sebab Tumenggung Reksojiwo ternyata telah wafat akibat peluru yang mengenai punggung hingga tembus ke dada.
Anehnya dalam kondisi telah wafat, jasad Tumenggung Reksojiwo tetap berada di pelana kuda mengiringi junjungannya, Sultan Agung yang juga merupakan kadang tunggal guru. Setelah itu atas titah raja, Tumenggung Reksojiwo dimakamkan di komplek pemakaman raja-raja Jawa di Imogiri. Letaknya di dekat gerbang masuk sebelah timur. Letak makamnya tergolong tinggi dan dikenal sebagai makam Tumenggung Tjitrokusumo. Ia juga adalah arsitek makam Imogiri.
Buku karya Hadi Priyanto dan Ulil Abshor ini juga merekam kketerlibatan hingga peran Tjitrosomo dalam kemelut yang terjadi di Istana Mataram pasca wafatnya Sultan Agung. Kemelut itu terjadi karena disebabkan beberapa faktor, di antaranya perebutan kekuasaan dari para putra mahkota serta pemberontakan-pemberontakan yang meletus di beberapa daerah.
Pemberontakan Trunojoyo, pemberontakan Pangeran Alit adik dari Amangkurat I, konflik Amangkurat I dengan putra mahkota hingga perang suksesi Mataram I dan II mewarnai perjalanan panjang kepemimpinan Adipati Tjitrosomo.
ua