Oleh JC Tukiman Taruna
ADA tiga orang meninggal dunia dan pergi ke surga pada hari yang sama. Orang yang pertama adalah seorang uskup emeritus, orang kedua juga seorang tokoh agama, dan orang ketiga adalah seorang politikus. Ketika malaikat membawa mereka bertiga melewati jalan-jalan yang terbuat dari emas, malaikat mengajak mereka berhenti di depan tiga bangunan: Ada dua gubug kecil namun indah, dan satunya sebuah istana besar.
Malaekat mengantar uskup dan pemimpin agama ke dua gubug itu. Kemudian malaekat memberi tahu agar politikus itu masuk ke istana besar. Baik uskup maupun pemimpin agama bertanya penuh sopan kepada malaikat sekedar ingin tahu.
“Mengapa, hamba Tuhan seperti kami harus menjalani hidup abadi dalam gubug kecil seperti ini, meski kami amat sangat bahagia? Sedangkan seorang politikus itu boleh mendiami istana besar.”
Malaikat itu tersenyum, menjawab: Begini, di atas sana, di istana-istana itu, sudah amat banyak uskup bahkan paus, dan pemimpin berbagai agama tinggal. Sedangkan dia si politikus itu, dia adalah orang pertama yang tinggal di istana.” (Frank Mihalic, SVD. 2000: hal. 115).
Edukasi Kultural
Dalam konteks Makan Bergizi Gratis (MBG), kisah jenaka ini mendorong siapa pun selayaknya bertanya: Kalau begitu, siapa politikus penggagas MBG di Indonesia saat ini? Upahmu pasti besar di surga kelak manakala program ini dititikberatkan pada pengembangan edukasi kultural siswa.
Pertanyaan kedua, sebagai orang pertamakah politikus penggagas MBG ini? Entahlah. Namun yang jelas, jutaan anak yang menikmati MBG pasti sangat terbantu asupan gizi baiknya; dan mereka akan mendoakan penuh syukur kepada Anda: masuk surga.
Makan, apalagi pesta, adalah perilaku budaya. Karena itu sangatlah bagus jika MBG tidak sekedar sebuah kegiatan pemberian makanan bergizi semata, melainkan harus berhasil memberikan dua hal terpenting; yakni edukasi kultural dan edukasi karakter. Edukasi kultural MBG perlu dikembangkan melalui pengenalan kekayaan ekspresi kebudayaan makan.
Baca juga Pager Pring, Bethek
Tegasnya, satuan pebdidikan wajib menjelaskan dan mengajak para peserta didik untuk tahu tentang nilai-nilai dan makna makanan; dapat menghargai jerih payah orang yang menyiapkan makanan, serta terus belajar bersyukur dan mendoakan pihak-pihak yang telah menyediakan makanan.
Edukasi kultural dapat tertanam manakala guru benar-benar terlibat langsung mengawasi dan membimbing anak-anak makan bersama, lewat ritual cuci tangan, antre, berdoa, berbagi, dan lain-lainnya. Di dalam edukasi kultural semacam itu, terbiasakanlah habitus makan yang baik dan benar. Itulah edukasi karakter.
Tidak ada aktor lain yang dapat secara langsung melakukan pembentukan karakter makan yang baik dan benar pada anak-anak kecuali guru. Maka guru wajib memberikan contoh bagaimana duduk yang baik dan benar ketika makan, bagaimana memegang sendok dan garpu (bila ada) yang baik dan benar; bagamana ulah mulut yang baik dan benar pada saat makan, dan seterusnya.
Intinya, MBG memiliki nilai kultural sangat tinggi, manakala edukasi kultural dan karakter dibentuk menjadi sekeping mata uang; satu sisinya aspek-aspek kultural, dan satu sisinya aspek-aspek pembentukan karakter.
Inspirasi Aristoteles.
Indro Suprobo (2025) mengingatkan “ajaran” Aristoteles terkait dengan fungsi suatu kegiatan atau pun program, dalam konteks ini program MBG. Ada tiga fungsi yang selalu harus dicermati; pertama, fungsi estetis, kedua, fungsi psikologis; dan ketiga, fungsi kognitif. MBG tetap harus memegang dan mengembangkan fungsi estetis, yaitu terutama melalui edukasi kultural dan karakter MBG harus menyiptakan emosi positif pada diri anak-anak dan sertamerta juga mengembangkan keindahan makan bersama. Makan bersama teman-teman itu indah, nyaman, menyenangkan, serta mendidik kebersihan.