blank
Ilustrasi, sebuah ritualmistis. Foto: Dok Catur

blankCatur Pramudito Damarjati

ADA momen menarik ketika malam Jumat Kliwon. Sekitar perempuan 30-an perempuan yang datang ke Sendang Senjoyo, Desa Tegalwaton, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang. Rombongan datang sekitar jam-jam tengah malam.

Saat tahu datang jauh dari sebuah panti pijat di pesisir kota Semarang, tentu tak ada pikiran lain kecuali suatu upaya merawat komoditas pasar hidung belang dengan cara-cara yang tak biasa. Setidaknya saya dapat memotret bahwa hasrat sensual adalah daya pikat yang sukar diperoleh hanya dari tumpukan kosmetik. Maka ritual-ritual semacam ini jadi jalan ketiga agar transaksi tetap terjaga.

Ya, sendang Senjoyo, sebuah sendang keramat yang jadi rekreasi favorit anak-anak punk, PSK dan banyak pemuda tatoan yang ikut nyemplung bersama para spiritualis. Tanpa diskriminasi. Serumit-rumitnya masyarakat menerima kaum marjinal sebagai kerabat sosial, di Sendang Senjoyo mereka tetap rela nyemplung bersama.

Bedanya, orang pada umumnya memiliki hajat tertentu dan berikhtiar lewat ritual doa dan berendam. Sementara kerabat marjinal sekadar cebar cebur dan memang hobi mingguan mereka untuk melepas penat setelah seminggu penuh berjibaku di simpang-simpang lalu lintas.

Senjoyo memang bijak untuk menerima segala kepentingan manusia, apalagi dalam tradisi jawa, ia lekat dengan selaput gagasan: Keramat. Tentu membikin manusia bebas berkehendak dalam koridor moral. Bisa berlaku adil sesuai konstruksi etika Jawa.

Sementara masyarakat modern yang memegang prinsip liberal, demokrat dan beradab, tak ayal hanya menerapkan secara praktis dalam konteks politik sempit, batas-batas kebebasan pada konstruksi alam manusia hari ini, pada praktiknya terasa bias dan timpang. Kita kerap memperjuangkan kepentingan tanpa mengindahkan nilai-nilai keberlangsungan.

Maka kecerobohan untuk merusak cenderung lebih besar atas nama pembangunan dan kemajuan.

Lantas bukan berarti mengedepankan sikap konservatif, tapi realitas tradisi dan budaya harus dipandang sebagai kekayaan intelektual peradaban lampau yang mestinya digali kembali sebagai upaya strategis menentukan sejarah ke depan.

Mengingat betapa riskanya internalisasi budaya global yang mengarah pada kebudayaan tunggal dan berujung pada krisis identitas. Lambat laun mengikis harga diri dan martabat bangsa atas nama globalisasi dan kemajuan teknologi modern.

Sedang keramat sendiri tak lain ialah sebuah gelar yang disandang suatu tempat untuk menunjukan kesan sakral dan suci.

Gagasan semacam ini dahulu masih terasa kental di masyarakat, perasaan itu membawa pada rasa enggan untuk berbuat ceroboh dan seenaknya sendiri, tapi rasa wingit itu kini hilang dalam kamus pribadi masyarakat.

Setidaknya jaman telah menggeser makna “sepi” dalam kebudayaan modern, yang semula berangkat dari keheningan manusia jawa yang lebur dalam gelombang realitas alam.

Bergeser pada fenomena alienasi kolektif, kesepian jiwa manusia yang latah sekaligus muak menghadapi peralihan zaman. Kita sepatutnya menyadari bahwa peradaban Jawa lahir dari proses keheningan.

Melalui laku-laku meditasi sebagai sarana peribadatan, yang umumnya dilakukan di tempat-tempat tenang dan damai, seperti mata air, gua, dan gunung.

Maka tak heran apabila gagasan mengenai wingit atau keramat sebetulnya berorientasi terhadap proses meditatif, lepas dari anggapan mistik. Pun sebenarnya laku semacam ini cukup ilmiah, mengakar pada hampir semua ajaran dan narasi kebudayaan lama.

Maksudnya adalah bahwa begitu banyak hal yang hilang hari ini, begitu sempit dan salah kaprahnya kita memahami realitas kebudayaan sebagai identitas diri. berupa kekayaan nilai yang dibawa orang-orang terdahulu dalam menjaga keberlangsungan kehidupan.

Barangkali benar kata Pramoedya Ananta Toer, bahwa manusia modern adalah yatim piatu yang tercerabut dari akar. Patah dan terhempas oleh angin dari barat.

Ketika sedang memandang para penganut spiritual yang beragam, mengitari sendang dan beberapa berendam  (kungkum). Tentu saya insyafi peristiwa ini sebagai spirit kebudayaan, bukan meletakkannya pada dimensi kebenaran.

Ritus-ritus Mistik

Sebab wajar apabila kecintaan orang terhadap budaya hari ini mengantarkan pada ritus-ritus yang berbau mistik, karena akses pengetahuan terhadap masa lalu telah terputus. Meninggalkan sedikit serpihan pemahaman yang diyakini secara buta.

blank
Ilustrasi, sebuah ritualmistis. Foto: Dok Catur

Setidaknya hingga hari ini baik akses atau kajian literasi terhadap peradaban lampau tak pernah jadi soal serius, tidak pernah santer dibicarakan sebagai arah mata angin pembangunan. Sementara otoritas tampaknya hanya berkutat pada persoalan praktis seperti tren mengenakan pakaian adat dan pengadaan kesenian daerah. Bukan penelitian, pengembangan, serta kurikulum pendidikan sejarah & kebudayaan sebagai upaya awal membangkitkan kesadaran budaya sedini mungkin.

Berbagai hal timbul tenggelam dalam pikiran menyaksikan ritus-ritus dari berbagai kalangan bertemu di lingkar mata air sendang yang tenang membersamai malam. Meski sebagian besar anak muda pasti menertawakan hal-hal semacam ini, saya memilih diam dan menepi.

Memberi jarak terhadap fenomena yang begitu sarat dengan tabiat materialistik berbalut ritus mistik, bermotif transaksional, menodai kearifan lokal dengan unsur-unsur mistik buta, yang tak lain tak bukan adalah kesesatan berpikir sebab ketidakmampuannya menghadapi kenyataan.

Pada akhirnya garis simpul segala kerisauan di atas dapat terkompromi apabila ditarik ke tataran yang paling dasar: Personal. Bahwa segala akrobat pengetahuan manusia bermuara pada moralitas pada praktik keseharian, Ilmu pengetahuan dan keyakinan pun demikian, keduanya bersinggungan pada konsekuensi sikap yang cenderung menagih kebermanfaatan.

Di akhir tulisan ini, saya teringat satu komentar sederhana Presiden SBY dalam, “Seni Memimpin Ala SBY” oleh Dr. Dino Patti Djalal. Kala itu istana sedang dihebohkan dengan mitos lawas, konon terdapat harta karun emas tertimbun di halaman istana, kemudian banyak staf istana bahkan sekelas Menteri Agama mengaitkannya dengan unsur mistis. Kemudian komentar Presiden kurang lebih seperti ini :

Pemikiran mistis mencerminkan mentalitas jalan pintas. Orang tidak mau bekerja keras dan mengharapkan solusi dengan cara gaib. Mistik membuat orang malas, tidak ulet dan tidak bermental tangguh. ” 

Catur Pramudito Damarjati, Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial & Komunikasi, Universitas Kristen Satya Wacana