blank
Ilsutrasi. Reka: SB.ID

blank

UNTUK penulisan buku saya saya mengunjungi sesepuh yang mengaku secara batin pernah bertemu saya, sehingga dia langsung akrab seolah sudah kenal lama. Dan tanpa banyak cakap, dia lalu mengambil senapan angin ukuran 4,5 lalu senapan itu lalu dikokang tiga kali lalu ditembakkan pada dinding kayu kamarnya.

Saat itu saya melihat dinding kayu itu mengelupas dan peluru menancap di dinding. Kedua kalinya senapan itu diisi peluru dan dikokang tiga kali, dan Der! Sesepuh itu menembak telapak tangan kirinya dan tidak luka, padahal pelurunya penyok. “Kalau Anda mau, juga bisa langsung saya tembak,” katanya.

“Tidak masalah, dalam radius dua hingga tiga meter, kekuatan azimat saya masih berfungsi,” jawabnya. Dia langsung mengokang senapannya tiga kali dan menembak telapak tangan saya. Begitu pelatuk ditarik, saya menutup mata. Dan saat membuka mata, saya melihat telapak tangan saya yang menjadi sasaran tembak itu tidak ada bekas benturan dengan peluru senapan.

Saya hanya merasakan angin dari tembakan itu, dan lagi-lagi, pelurunya penyok dan jatuh pada ubin. Ketika saya kemukakan, saya ingin menulis keunikan-keunikan itu, paranormal itu menolak. “Jangan, nanti saya tambah repot, tidak ditulis saja saya sudah lelah melayani tamu,” jawabnya.

Merasa kehilangan informasi berharga, saya mempunyai kiat “memaksa.” Saya pulang dan malam hari menulis apa yang saya alami dengan paranormal itu. Gaya bahasanya pun saya buat tersembunyi, menyebut paranormal itu dengan sebutan Mr X, atau seseorang yang identitasnya tidak diketahui.

Pagi hari saya datangi lagi. Saya langsung menyodorkan naskah delapan halaman tentang keunikan benda magis (azimat) yang dimilikinya. Agak bingung dia mengamati hasil tulisan saya. “Wah, kalau begini caranya, sama halnya menodong secara halus,” katanya.

“Pokoknya, boleh saya tulis, tidak boleh pun saya tulis.” Karena merasa terdesak, dia tampak gelisah. Apalagi setelah saya kemukakan penulis itu berhak menulis apa saja dan hanya bisa kompromi dalam penyamaran nama narasumber yang keberatan ditulis secara jelas.

Dalam kegugupan itu dia berkata, “Tolong masalah ini jangan sampai ditulis, sebagai gantinya Anda akan saya beri imbalan,” katanya. Imbalannya apa? tanya saya, dijawab,”Nanti Anda saya buatkan duplikat azimat itu.”

Ketika dia janji seperti itu, ingatan saya tertuju pada istilah “susuan” yaitu, melalui proses penempelan benda dengan azimat asli, maka akan terjadi perpindahan energi atau dalam bahasa kerennya disebut transfer of power, walau itu hanya sesaat.

“Baik-baik, saya setuju usul Bapak,” kata saya.

“Pokoknya, kita bersaudara. Tolong, jaga nama saya. Saya tidak ingin terkenal seperti orang lain.”

“Berapa saya mesti membayar untuk jasa susuan itu?”