SEMARANG (SUARABARU.ID)- Komisioner KPID Jawa Tengah, Anas Syahirul Alim SSos mengatakan, secara sosiologis sebenarnya perilaku pemilih kita adalah ideologis militan. Sedangkan yang swing voters adalah rasional. Tapi khusus tahun 2024, perilaku pemilih yang paling banyak adalah transaksional.
Hal itu seperti yang disampaikannya, saat menjadi narasumber di acara Sosialisasi dan Pendidikan Pemilih Pilkada 2024, yang mengambil tema ‘Mewujudkan Pilkada Berkeadaban dan Substantif’, di Lobi Gedung PW Muhammadiyah Jateng, Jalan Singosari Raya, Semarang, Jumat (8/11/2024).
Forum diskusi yang digagas PW Muhammadiyah Jateng, Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Muhammadiyah Jateng, dan KPU Jateng itu, menghadirkan narasumber lain yakni, pengamat politik dari Unnes dan surveyor Dr Cahyo Seftyono SSos MA, dan Ketua LKHP Muhammadiyah Jateng Dr AP Drs Jayusman Arief MM, dengab moderator Muhammad Sabbardi MPd.
BACA JUGA: Kinerja Pengawasan Kota Magelang Terbaik I Se-Jateng
Selain diikuti perwakilan organisasi otonom Muhammadiyah, ada juga politisi PAN yang juga mantan Wakil Ketua DPRD Surakarta Umar Hasyim, dan mantan legislator DPRD Jateng dari PKS Agung Budi Margono.
Dalam paparannya, Anas mengaku mendengar ada caleg yang menyebut, Pemilu 2024 tak lagi ada istilah “Dapil Neraka”, namun menjadi “Dapil Neraka Jahanam”. Karena, selain bertempur antarkontestan, tapi juga bersaing dengan jumlah isi tas.
”Makanya kan ada cerita seperti tetangga saya, bisa beli kambing bahkan sapi, karena uangnya didapatkan dari partai dan caleg yang kampanye. Pilkada 2019 memang ada anasir soal politik uang, tapi di tahun ini sungguh heboh, luar biasa. Ini PR besar bagi LKHP,” ujar Anas, yang juga Ketua PWI Solo itu.
BACA JUGA: Polda Jateng Tegaskan Netralitas dan Komitmen Pengamanan Pilkada 2024
Dijelaskan dia, meskipun sudah ada fatwa Muhammadiyah dan MUI soal politik uang, namun kondisi ini terus berlangsung. Dulu popularitas sebanding dengan elektabilitas, tapi kini elektabilitas tergantung “isi tas”.
”Sehingga ini terkesan tak usah kampanye atau meningkatkan kualitas diri, yang penting menyebar isi tas. Saya sependapat, kondisi ini tak boleh dibiarkan,” tandasnya.
Narasumber lain, Cahyo Seftyono mengajak peserta diskusi, untuk membaca hasil survei tiga lembaga kredibel, yang sudah merilis surveinya terkait Pilgub Jateng. Selain itu menelaah relasi elit dengan publik, dan bagaimana tingkat kesukaan masyarakat Jateng terhadap para kontestan.
BACA JUGA: Koordinator PKY Jateng Ungkap Survei Kepuasan Masyarakat Layanan Penghubung Komisi Yudisial RI
Disebutkan dia, dari tiga lembaga yang sudah merilis hasil surveinya, SMRC, Litbang Kompas, dan LSI Denny JA, belum ada kontestan yang dominan. Dia juga meyakini, Pilkada 2024 memiliki kompleksitas yang tinggi.
”Belum tentu orang PDIP memilih kader yang diusung PDIP, dan orang Gerindra belum tentu memilih kontestan yang diusung Pak Prabowo. Di tingkat pusat, kelihatannya PDIP dan PKS tak bisa disatukan. Tapi di tingkat lokal, koalisi PDIP-PKS itu banyak. Jadi sangat kompleks,” ungkapnya.
Berdasarkan hasil survei, kecenderungan pemilih Jateng pada kontestan bukan pada sosok yang pintar, peduli atau dicitrakan jujur dan religius, namun pada kemampuan memimpin secara personal. ”Bagi masyarakat Jateng, pemimpin pintar itu nomor dua, sikap peduli nomor empat,” terangnya.
BACA JUGA: Melalui Sireng Bassama, Kabapas Semarang Sarwito Dorong Jajaran Terus Tingkatkan Kompetensi
Sementara itu, Jayusman Arief dari LHKP menggolongkan tiga keriteria pemilih. Yaitu memilih karena faktor kedekatan, karena jasa, dan narasi yang berkembang tentang sosok calon pemimpinnya.
”Pilkada seringkali memunculkan sisi gelapnya. Maka edukasi politik harus terus digencarkan. Diskusi seperti ini menjadi salah satu contoh, untuk memberikan pendidikan politik sebagai bagian dari ibadah,” tukas dia.
Di akhir paparannya, Jayusman mengajak peserta untuk berpartisipasi aktif dalam Pilkada. Jangan sampai golput dan netral, yang diartikan tidak bergerak sama sekali.
Riyan