Ilustrasi, ketika sang Petruk Jadi Ratu. Foto: Reka: wied SB.ID

JC Tukiman Tarunasayoga

JUDUL ini bukan sekedar main kata-kata. Ada makna sangat mendalam terkait dengan “psikologi kekuasaan.” Meski saya bukan ahli psikologi, namun melihat fenomena kehidupan sehari-hari,  sampailah pada kesimpulan: Orang  yang sedang punya kekuasaan (pengaruh), -siapa pun dia-, pastilah bersikap mampang-mumpung. Nah…………mampang-mumpung inilah ungkapan lain dari judul di atas.

Contoh ini menjelaskan “psikologi kekuasaan” itu. Tidak berapa lama lagi, para penjabat gubernur, bupati atau wali kota di mana pun segera akan lengser. Waktu yang tinggal sebentar ini, pasti dimanfaatkan sebaik mungkin dalam konteks mampang-mumpung.

Bagi penjabat yang masih harus mantu, pasti sesegera mungkin akan duwe-gawe mantu besar-besaran. Mengapa? Masih idu geni, meludah pun akan di-iya-kan atau “siapppppp” oleh anak buah. Bulan depan mantu pun, semua anak buah pasti siappppppp asal saja (sejauh) beliau masih menjabat sebagai gubernur. Pengertian siappppp ini komplit, pasti semua akan “dibereskan” oleh anak buah sehingga pesta besar-besaran pasti terjamin.

Bagi pejabat yang anak-anaknya sudah dinikahkan, bagaimana? “Ya ora kurang akal to,” begitu jawaban mbah Supa Wibawa guru spiritual. “Anak sing durung mapan, ya dipapan-papanake; digolek-golekake, dipernah-pernahake;” artinya mumpung (senyampang) masih berkuasa, sebagai orang tua pastilah berusaha mencari celah agar anak yang belum mapan itu  dicarikan “posisi.”

Itulah “psikologi kekuasaan”  mampang-mumpung yang dalam Bausastra (kamus Jawa) diberi arti nekad mumpung kebeneran (pas) mangsane. Maksudnya, karena keterbatasan waktu, atau karena memang  saatnya  bertepatan, ada upaya keras (disebut nekad, atau dipaksakan) untuk benar-benar dimanfaatkan.

Mumpung

Kata mumpung ini sudah sangat dikenal oleh siapa pun. Kalau di atas  disebutkan senyampang sebagai padanan mumpung; ungkapan Jawa lebih khas tentang mumpung ialah ing nalikane isih

Baca juga Siap Mimpang, (Kudu) Siap Mimpes

Titik-titik ini harus Anda isi sendiri sesuai dengan konteksnya. Menggunakan contoh mantu di atas, titik-titik itu isinya: Ing nalikane isih dadi gubernur, enggala mantu. Mengapa harus “nekad” dan cepat-cepat mantu? Ketahuilah, hari ini pensiun gubernur, besok pagi sudah tidak  ada lagi ada anak buah mengatakan:  “Siappppp, Pak.”