Kalau judul  besar tulisan ini mumpung mimpang mampang-mampang, maka jelaslah konteksnya. Maksudnya, mumpung masih/sedang berkuasa, pada umumnya orang itu akan memanfaatkan kekuasaannya dengan berbagai cara agar/ untuk ……………….

Lagi-lagi, titik-titik ini harus Anda isi sendiri sesuai dengan konteks dan keinginan  Anda masing-masing untuk mengungkapkannya.  Sebutlah misalnya Anda ingin mengisi titik-titik itu dengan: “agar/untuk ……….namaku tetap dikenang baik.” Atau: “agar/untuk ……… masa depan baik amancu-ku.”

Mampang-mampang

Semua upaya memanfaatkan saat yang tepat itu sah-sah saja. Waktu tepatnya tinggal dalam hitungan minggu atau bulan mialnya, lalu  orang yang masih berkuasa itu gerak cepat melakukan atau mengambil kebijakan apa pun, sah-sah saja.

Baca juga mangsa BORONG

Memang ada catatan penting di dalam kata “sah-sah saja,” itu; yaitu asal/sejauh ora mampang-mampang. Apa itu mampang-mampang? Arti mampang-mampang itu singkat padat, yaitu nesu banget, marah besar. Orang marah besar mungkin saja tidak tersirat di wajah atau gesture-nya; sangat mungkin justru terungkap dalam langkah-langkah kebijakan atau keputusannya. Ini berbahaya!

Pertanyaannya memang, mengapa seseorang yang sedang berkuasa dapat marah besar? Dengan kata lain, mengapa orang dapat mampang-mampang? Lagi-lagi bausastra menjawab singkat, amarga (1) kecenthok, dan (2) emoh nurut. Orang dapat sangat marah besar, -apalagi ia sedang berkuasa- , karena terluka hatinya dan atau karena (sengaja) tidak taat.

Guru spiritual

Kisah seorang guru spiritual Supa Wibawa berikut ini pantas direnungkan terutama bagi mereka yang sebentar lagi akan pensiun. “Seorang murid bertanya kepada guru spiritualnya: Guru, misalnya hari besok adalah hari terakhir Guru, apa yang akan guru lakukan? Guru itu menjawab: Saya akan bangun pagi seperti biasa, lalu semadi berdoa sepererti biasa.

Setelah itu menyiapkan sarapan, selanjutnya minum teh seraya santap sarapan. Setelah itu, seperti biasa ke ladang menggarap dan menyayangi tanah dan tanaman. Terus pada sore hari membersihkan badan, doa lagi sebelum tidur.

Murid itu heran, dan protes: Bukankah besok itu hari terakhir Guru? Mengapa tidak ada persiapan khusus apa pun untuk hari terakhir? Guru spiritual itu tersenyum, lalu menjawab: Anakku, mengapa risau amat akan hari terakhirmu? Mengapa hari terakhir harus dibuat istimewa dan melupakan kebiasaan hari-harimu?  Dosa apa saja telah kamu buat selama berkuasa, sampai-sampai begitu risau dengan hari-harimu saat ini?”

Tukiman Tarunsasayoga, Ketua Dewan Penyantun Segijapranata Catholic University