I;lustrasi. Gambar Reka wied

JC Tukiman Tarunasayoga

BAPAK Airlangga Hartarto, minta maaf asma panjenengan disebut-sebut sebagai contoh dalam tulisan ini. Apa yang Anda lakukan, yaitu mundur dari posisi ketua umum partai, adalah contoh konkret dan pas apa yang sering terdengar dengan kata mletre.

Dan sangat pas banget pula, karena serta-merta dengan pernyataan resmi mundur Anda, segera merebak kabar-kabur bertebaran: Ehhhh ternyata ada yang sudah mlipir-mlipir sejak beberapa waktu lalu. Ada pula yang siap-siap mlembar.

Yah……….tentang mletre, mlipir, dan mlembar-lah kupasan kali ini, bukan tentang partai politik, bukan pula tentang percaturan politik mutakhir di pertengahan Agustus ini. Bukan. Mligi tentang mletre, mlipir, lan mlembar.

Mletre

Tembung mletre ini, ternyata  semakna/searti dengan mletrek, mlotrok, atau pun mlorot. Ucapkan mletre sebagaimana Anda mengatakan “makan sate kere,” atau bisa juga: “Calon bupati itu tampil amat pedhe (PD = percaya diri), ehhhh jebul tidak ada partai mendukungnya.”

Dalam hal tembung mletrek, mengucapkannya harap bibir dibuka dibuka lebih lebar seperti Anda mengucapkan: “Bebek suka tempat becek.”

Tentang makna mletre, mletrek, mlotrok, lan mlorot Anda semua pasti sudah sangat paham (dalam konteks pak AH bahkan sangat bisa memahami, hehehehe…..).

Sepatah kata itu saja cukuplah untuk menegaskan betapa jabatan itu memang benar-benar rentan karena sewaktu-waktu dapat turun (sendiri), diturunkan, atau pun karena menjaga sopan-santun, yahhhh minta turun. Jangankan jabatan, cinta yang konon disebut-sebut “setengah mati” pun dapat tiba-tiba mletre lan  mletrek.