blank
I;lustrasi. Gambar Reka wied

Memang kata mlotrok umumnya untuk melukiskan  barang atau asesoris yang turun dari posisinya: Misal celana atau sarunge mlotrok; topi pun bisa turun dari posisi semula, lalu disebut mlotrok atau mlorot.

Intinya, mbuh mletre, mletrek, mlotrok atau mlorot, faktanya posisi pak AH turun dari semula sebagai ketua umum, kini anggota biasa. Dan fakta pula (bener fakta, ya????), terkuak betapa sudah beberapa lama ada yang wis mlipir, pun ada yang sudah siap-siap mlembar.

Mlipir lan mlembar

Konon, bayangkan Anda makan semangkok bubur panas. Satu-satunya strategi jitu menyantap bubur panas adalah mlipir(i), yaitu mulailah menyantap di bagian pinggir, pasti sudah tidak sangat panas. Lalu, pelan tetapi pasti seraya menunggu “timing-nya” barulah sikat-habis bagian tengah semangkok bubur itu. Itulah strategi mlipir, yakni mlaku utawa mlebu lewat pinggir.

Bagaikan bangunan rumah, jangan mengendap-endap leewat pintu tengah, tetapi masuklah lewat pintu samping, atau kalau ada pintu belakang.

Mlipir memang bernuansa tidak resmi, bahkan sangat mungkin secara diam-diam, dan sangat mungkin jalannya pun mengendap-endap. Namun, justru strategi ini tingkat keberhasilannya relatif tinggi.

Pertanyaannya, dalam konteks contoh mletrenya pak AH, apakah beliau sudah terasa bahwa selama ini telah ada yang mlipir-mlipir? Pertanyaan selanjutnya: Njur sapa kang mlipir-mlipir kuwi? Siapa pula yang menempuh strategi makan bubur itu?

Jawaban atas pertanyaan sapa sing mlipir-mlipir itu dapat dicari lewat “indra ke enam atau ke tujuh” yakni melihat cermat: Sapa kang wis siap-siap mlembar?  Bacalah mlembar sebagaimana Anda mengucapkan “melempar  pakai selendang.” Makna mlembar ialah  ngalih ing panggonan liya, pindah ke tempat atau posisi lain. Namun, pindahnya ke tempat lain itu bermaksud “menguasai” tempat barunya itu.

Rakus

Seorang bernama Tonne dikenal pengkotbah ulung lewat contoh-contoh sederhananya. Tonne selalu memberi judul kotbahnya, dan judul kali ini ialah rakus. Alkisah, seorang pemuda mendapat warisan ladang kecil milik ayahnya. Remaja itu tidak rela menerima warisan sekecil itu; maka ia pergi ke pemilik ladang sebelahnya yang sangat luas. Ia sampaikan maksudnya ingin memiliki ladang seluas-luasnya apa pun syarat yang harus dipenuhi.

Suatu hari pemilik ladang luas itu mengatakan setuju mau memberikan ladang seluas-luasnya, yakni seluas remaja itu bisa mengitari ladang mulai dari matahari terbit, dan sebelum matahari terbenam, remaja itu harus berada di titik yang sama ketika ia berangkat.

Pagi berikutnya, remaja itu sangat bersemangat dan merasa tidak keburu sarapan, pada saat matahari terbit ia memulai jalan dari suatu titik. Ia terus berjalan mengitari ladang, terus berjalan sambal sesekali melihat jam tangannya. Ia terus berlajan, dan di tengah hari ia mengitari dari sisi lain tanpa berhenti makan. Ia merasa masih kuat. Puluhan kilometer sudah ia tempuh, sementara matahari sudah mulai bergeser kea rah ufuk untuk terbenamnya nanti.

Pada jarak tinggal 500 meter dari titik awal, remaja itu sudah terengah-engah sebenarnya, tetapi memaksakan diri terus memacu jalannya. Dan ………pada detik terakhir sebelum matahari terbenam, ia mencapai titik berangkatnya; dia berteriak memegangi dadanya, dan …….tiba-tiba terjatuh, pingsan, dan tidak berapa lama lalu mati.

Luas tanah yang di-rakus-i  seolah tercapai; tetapi  kini remaja itu memiliki hanya tanah ukuran satu kali dua meter.

Tamat!

JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Soegijapranata Catholic University