JC Tukiman Tarunasayoga
KATA “tanggung jawab” saat ini sedang bergaung nyaring seiring dengan munculnya berbagai pertanyaan (baca: masalah) sosial seperti contohnya Tapera.
Secara konsep saja, penjelasan satu pejabat dibandingkan dengan pejabat lainnya sering nampak tidak bersesuaian kok.
Kadang terasa sedih, karena hampir tidak pernah ada pejabat yang blaka suta, mengatakan: “Saya tidak menguasai konsepnya,” tetapi malah menjelaskan seolah-olah tahu. Bikin bingung.
Dan yang dipertanyakan sebagian warga masyarakat, ialah: “Jan-jane sapa ta sing tanggungjawab masalah iki?” Siapa sih pihak yang paling bertanggung jawab untuk sekurang-kurangnya menjawab jelas-tuntas masalah Tapera misalnya. Juga tentang starlink, termasuk tentang ini, tentang itu lainnya.
Tanggungjawab
Intinya, sangat sering muncul kegelisahan di masyarakat ketika merasakan adanya ketidakjelasan tentang siapakah pihak yang paling bertanggung jawab terhadap permasalahan ini dan terhadap permasalahan itu, sebut Tapera.
Baca juga Ngegla, Banjur Egla-egle
Sementara itu makna tanggungjawab itu sangat jelas, yakuwi gelem nanggung yen ana alane, ana cacade, lsp; yakni keadaan wajib menanggung segala sesuatunya; kalau ada sesuatu hal boleh dituntut, dipersalahkan, atau diperkarakan (KBBI).
Nah……… di sinilah pokok pikiran terpenting, yakni tanggungjawab itu berkaitan dengan “wajib dan berani menanggung segala sesuatunya.” Padahal, banyak orang cenderung gelem nangkane, emoh pulute; mau sih ikut menikmati (daging) nangkanya, tetapi ogah kena getahnya.
Dengan kata lain, rupanya terjadi atau ada darurat tanggungjawab dalam kehidupan bermasyarakat maupun berpemerintahan kita. Maksudnya, banyak orang lebih memilih menghindar ketika ada tuntutan tanggungjawab; sebaliknya senang kalau diajak ramai-ramai makan nangka itu.
Gejala ini persis disimbolkan lewat kebiasan orang buang sampah sembarangan: setelah hajatnya makan sebungkus kudapan terpenuhi, pembungkus kudapan itu dibuang di mana saja.
Nanggung ngaras
Gejala umum semacam itu membawaserta terbentuknya perilaku, sebutlah karakter bermasyarakat (dan berpemerintahan?), yakni bekerja atau bahkan merancang konsep berfikir model nanggung ngaras.
Baca juga Wadi, Kudune Gawe Wedi
Sangat mudah membaca kata nanggung ngaras ini, dan sebenarnya sangat mudah juga memaknainya karena memang sudah menjadi bagian dari kebiasaan sehari-hari kita. Jelasnya, nanggung ngaras itu maknanya ora mbabar-pisani, tidak pernah tuntas atau komplit manakala merancang atau membuat konsep apa pun, apalagi manakala harus mengerjakannya.
Itulah nanggung ngaras, serba tanggung, serba setengah-setengah, serba seolah-olah, serba (atau sengaja??) tidak komplit-tuntas. Kalau berfikir negatifnya, mungkin saja hal-hal nanggung semacam ini disengaja agar tidak jelas siapa penanggungjawabnya, dan ketika nanti ada/timbul masalah, ramai-ramai pula orang lempar tanggung jawab.
Namun, saya lebih senang berpikir positif terhadap apa pun. Perencanaan maupun penyelesaian pekerjaan sering ditempuh lewat model nanggung ngaras sangat mudah terjadi, karena hidup kita itu senang menganut struktur karakteristik sosial kekuasaan.
Patut diketahui, struktur karakteristik sosial kekuasaan itu menggambarkan pola hidup sehari-hari yang menumpukan atau bertumpu pada kekuasaan seseorang atau lembaga. Kalau di tingkat rukun tetangga (RT), yahhhhhh apa pun ditumpukan kepada ketua RT: got mampet, lapor ke ketua RT, tikus mati di tengah jalan, lapor pak RT, dst. dst.
Mengapa begitu? Salah satu pemicunya antara lain karena pak ketua RT senang atau merasa bangga “diperlakukan” begitu. Karena modelnya apa-apa lapor pak RT, yaaaaaaa………. siapa pun cenderung menempuh nanggung ngaras agar nanti semuanya “diberesin” pak ketua RT.
Mari bersama kita ubah cara hidup seperti itu, jika kita memang mau meningkatkan tumbuhnya tanggungjawab pada masing-masing pribadi.
Caranya? Minggu depan saya sambung.
JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Soegijapranata Catholic University