DALAM proses pengungkapan ini, keenam anak itu ada satu anak yang telapak tangannya tidak wangi. Menunjukkan, dialah pelakunya. Karena dia merasa bersalah, maka dia takut menyentuh rambut kuda karena takut tangannya berbau wangi.
Akhirnya santri nakal itu tidak bisa mengingkari apa yang dilakukannya. Becik ketitik, ala ketara. Selain metode ekor kuda, Ada kisah di sebuah keluarga yang masih tetangga saya. Suatu saat Pak Jamal –bukan nama sebenarnya- kehilangan perhiasan istrinya.
Dan yang patut dituduh itu, selain keponakan sendiri, juga dua pembantunya. Jamal menemukan cara mengetahui siapa pelakunya. Caranya? Disuruh istrinya merebus tiga butir telur ayam kampung.
Telor itu kemudian dibawa keluar, seolah dia mendatangi kediaman seorang yang diyakini ahli ilmu batin. Dan begitu datang, ketiga tertuduh disuruh masuk ke kamar tempat di mana perhiasan itu hilang, dan ketiganya disarankan memakan telur itu.
“Awas, jika kalian masih tetap tidak mau mengaku, dalam waktu tiga hari setelah makan telor itu, perutnya busung,” kata Istri Jamal.
Baca juga Cara Tradisional Mengungkap Kasus – I
Diam-diam Jamal menyuruh istrinya mengintip tiga tertuduh yang disuruh makan telur dalam kamar.
Giliran pertama, pembantu lelaki. Dari lubang pengintaian, istri Jamal melihat pembantunya makan telur dengan lahapnya. Giliran kedua, pembantu wanita juga makan telur, tanpa ada ekspresi takut.
Namun pada giliran ketiga, yaitu kerabat majikan sendiri. Begitu dia masuk kamar, Jamal melihat dari lubang pengintaian. Beberapa kali dia melihat kerabatnya tampak gelisah tengok kiri kanan. Dia ambil telur lalu digenggam dan diremas dan disembunyikan di balik bajunya.
Melihat itu, istri Jamal melapor suaminya. Ketika keponakannya keluar dari kamar, Jamal menemukan remasan telur dari dalam bajunya. Bukti kedua, ketika dia diminta “membuka mulut” terbukti pada sela-sela giginya terdapat sisa-sisa kuning telor.
Teman saya ada yang memanfaatkan jasanya. Syaratnya yang datang harus mengajak anak di bawah usia 10 tahun. Nanti, anak itu setelah dimantrai dia bisa melihat bentuk wajah pelaku yang tampak pada kuku telunjuknya.
Setelah ritual dimulai, tuan rumah berkata,”Nak, perhatikan kuku Mbah, nanti kelihatan gambarnya.” Keponakan lalu memandang kuku tuan rumah. Aslinya dia tidak melihat apa-apa, namun karena tuan rumah “menggiring” dan berkata, “Lho, ya orangnya sudah kelihatan, giginya kuning, rambut panjang dan sudah tua.”
Karena takut, anak itu mengangguk. Dia tidak mungkin membantah. Tuan rumah lalu berkata, “He he, anak itu sudah melihat wajah siapa yang mencuri, ya kan, ya kan..?”
Merasa dapat angin, tuan rumah berkata, “Ini ilmu langsung dari Gusti Allah, dan yang bisa melihat hanya mereka yang sudah tinggi ilmunya atau anak kecil yang belum punya dosa.”
Sampai rumah, dia lalu mencari orang yang layak dicurigai. Setelah memperhatikan tanda-tanda yang diberikan, yang jadi tertuduh wanita agak tua, berambut panjang, gigi berlapis perak. Tanpa pikir panjang, yang layak jadi tertuduh adalah kerabat sendiri.
Dia yang dituduh tidak tinggal diam. Merasa tidak melakukan perbuatan itu, dia menantang sumpah pocong. Dan sejak peristiwa itu silaturahmi antarsaudara retak akibat meyakini omongan orang yang sok pintar.
Banyak orang yang tidak mempertimbangkan bahwa risiko dari tuduhan yang tidak jelas itu menimbulkan kerugian moral bagi yang dituduh. Tragisnya, sebagian besar orang awam itu meyakini ucapan orang pintar itu pasti benarnya.
Usil dan Bercanda
Saya itu sesekali bercanda dan sekaligus “menguji” keaslian orang pintar dengan cara bertanya sesuatu yang sebetulnya tidak ada. Misalnya, saya mengatakan kerabat saya kehilangan dan minta bantuan untuk menerawangnya.
Dia lalu trance dan mengatakan pelakunya masih kerabat sendiri, barangnya dibawa ke utara, dsb. Pernah saya ketemu orang yang mengaku kesurupan Suto Mbondo dan mengaku dalam kondisi kesurupan itu seperti tertidur pulas.
Saat itu saya tanya kasus perbunuhan wartawan yang sedang booming. Ketika mulai “kesurupan” tiba-tiba dia berteriak, karena ada ulat bulu jatuh dari atap. Naluri sebagai wanita tak bisa disembunyikan.
Mendeteksi kasus yang tersembunyi itu banyak metodenya. Ada juga versi tenaga dalam. Caranya, dari sekian yang tertuduh berdiri berjajar lalu didorong dengan tenaga dalam.
Secara logika, orang yang bersalah, bergetar hatinya karena perasaan bersalah itu hingga mudah terdorong saat ada “hentakan” jurus. Saya pernah melakukan cara ini. Dan dua dari lima “tertuduh” ada yang terdorong hingga perlu diinterogasi.
Namun lain waktu yang terdorong itu menemui saya, “Mas, saya terdorong itu karena rasa takut, saya tidak mencuri.”
“Jika tidak mencuri mengapa takut?” tanya saya. Dia menjawab, “Saat sampeyan melotot, dengan rambut awut-awutan, saya melihatnya ngeri, dan saat sampeyan bergerak, saya ikut terbawa.”
Kesimpulannya, setiap metode memiliki keterbatasan, termasuk konsep tradisional pun belum valid untuk mengungkap suatu kasus. Termasuk metode telor yang (katanya) hanya anak kecil yang bisa melihat wajah pelaku pada telor itu.
Konsep itu secara nalar pun tidak bisa diterima, terlebih lagi pengakuan anak di bawah umur, tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Selesai