blank
Ilustrasi. Reka: wied SB.ID

blank

SELAIN deteksi kendhi, masih ada beberapa metode lain yang berkaitan dengan mengungkap kasus, yaitu metode “timah mendidih” yaitu, cairan timah digodog sampai mendidih dan tangan dimasukkan. Jika orang yang tidak bersalah, maka timah mendidih itu tidak menyebabkan luka.

Sebaliknya, jika tangan itu melepuh, artikan dia diyakini salah. Misalnya, lima orang didakwa mencuri barang dan kelimanya harus bersedia dideteksi dengan timah mendidih. Caranya, kelimanya harus berani memasukkan tangannya ke cairan timah mendidih itu.

Metode ini sering dimanfaatkan orang-orang terdahulu. Saya  pernah membaca pada harian terbitan Ibu Kota tentang beberapa karyawan yang didakwa mencuri uang dari brankas. Seorang paranormal didatangkan dan menggunakan metode itu.

Hasilnya? Seluruh karyawan menolaknya. Karena cara itu mengerikan. Mereka pun berkata, “Saya tidak mencuri, tapi  saya ngeri, khawatir kalau ilmu paranormalnya tidak manjur, maka orang yang tidak bersalah pun bisa dibuat melepuh tangannya karena timah panas itu.”

Kelemahan metode ini jika pihak yang layak dituduh itu mogok. Apalagi pada zaman modern seperti sekarang ini, orang kurang begitu  yakin dengan hal-hal yang bersifat mistis, mereka tetap tidak yakin timah mendidih itu walau sudah dibacakan mantra, tidak menimbulkan luka bakar bagi tangan orang yang benar.

Kelemahan lain dari metode timah mendidih ternyata bisa dikutak-katik. Dalam ilmu sulap, ada cara aman agar tangan yang sebelumnya sudah dalam kondisi kering, jika sebelumnya dibenamkan pada pasir kering karena dijemur pada panas matahari.

Rumus lain, jika posisi ujung jari-jari  dalam posisi menghujam atau lurus, panas timah itu tidak menimbulkan luka. Cara lain, ada zat kimia yang mampu menetralkan panas, sehingga metode timah ini sudah tidak lagi eksis.

Saya mengkhawatirkan orang yang mengetahui rahasianya, walau dalam kondisi bersalah, dia bisa terbebas dari panas karena pengetahuannya dengan ilmu sulap.

Pada zaman dahulu, metode “timah mendidih” paling ditakuti orang-orang yang bersalah. Dan pihak yang tidak bersalah pun yakin dengan kekuatan mistis yang dimiliki paranormal, dan orang yang merasa bersalah, sudah bisa dibaca raut wajahnya.

Dan biasanya mereka pilih mengaku itu daripada dia harus menerima resiko melepuh tangannya oleh timah mendidih. Semestinya ilmu pendeteksian itu masih banyak, namun pemanfaatannya untuk mengungkap kasus hampir tidak lagi terdengar.

Metode Lidi

Orang-orang zaman dulu itu jenius. Dia bisa melakukan berbagai teknik untuk mengungkap suatu kasus. Salah satunya menggunakan sarana lidi. Misalnya, pernah suatu saat ada lima pembantu rumah tangga  dituduh melakukan pencurian.

Kelimanya lalu dikumpulkan majikannya dan masing-masing diberi lidi. “Lidi itu sudah dimantrai Mbah dukun, kalian harus membawa satu-satu dan besuk pagi harus diserahkan kepada saya,” kata majikan.

“Kalian perlu diketahui, jika lidi yang kalian bawa itu nantinya bertambah panjang sekitar satu centi, berarti yang lidinya memanjang itu yang mencuri uang, yang lain yang merasa tidak bersalah tidak perlu takut skarena lidi orang benar itu tidak bisa memanjang.”

Pagi hari majikan mengumpulkan pembantu-pembantu dan menarik balik lidi yang (katanya) sudah dijampi-jampi. Ternyata ada salah satu pembantu yang menyerahkan lidi berkurang satu centi meter.

Pengurangan panjang lidi ini yang layak diduga sebagai pelaku. Dia termakan keyakinan adanya lidi yang bisa memanjang satu centi, sehingga dia mengurangi atau memendekkan satu satu centi meter.

Trik sederhana ini mampu mengungkap kasus pencurian. Metode “gertak” semi bercanda ini tidak beda ketika ada beberapa penumpang dokar (andong) yang kentut. Karena baunya luar biasa, hingga antar penumpang saling tuduh.

Kusir yang dikenal cerdik itu ingin mengetahui siapa penumpang yang ketut, karena satu pun tak ada yang mengaku. Ketika andong sudah sampai  tujuan, kusir berkata, “Yang kentut tadi belum bayar.”

Dipancing dengan cara  itu, spontan ada yang menjawab, “Sudah… saya sudah bayar.” Orang pun menjadi tahu karena pelakunya sudah mengaku. Ada juga kisah yang terjadi pada sebuah pesantren.

Namanya orang banyak, dari sekian yang baik tentu ada satu, dua yang nakal. Suatu hari salah satu ruang pesantren  ada yang kehilangan sejumlah uang. Lurah pesantren mempunyai ide unik untuk mengungkap kasus itu.

Caranya, enam dari penghuni ruangan itu dikumpulkan. Lurah menjelaskan, atas kesepakatan pimpinan pondok, keenam tertuduh  harus bersedia menjalani tes secara gaib. Caranya, Lurah pondok mengambil 10 helai rambut ekor kuda.

Pada rambut itu diolesi minyak wangi. “Kalian harus mengurut rambut kuda ini dari atas ke bawah, jika tangan kalian nanti ada yang bau wangi, maka dia yang mengambil uang,” kata Lurah pondok.

Keenam tertuduh lalu mendekati rambut kuda yang digantung pada seutas tali secara bergantian. Dan setelah mereka bergantian mengurut rambut ekor kuda, lalu menemui lurah pesantren. Dari keenam anak itu ada satu anak yang telapak tangannya tidak wangi.

Menunjukkan, dialah pelakunya. Karena dia merasa bersalah, maka dia takut menyentuh rambut kuda karena takut tangannya berbau wangi. Akhimya santri nakal itu tidak bisa mengingkari apa yang dilakukannya. Becik ketitik, ala ketara.

Bersambung