blank
Ilustrasi Pilkada 2024.

Oleh: Dr. Muh Khamdan, MA. Hum

JEPARA (SUARABARU.ID)- Peta perpolitikan jelang masa pemilihan kepala daerah (pilkada) di Jepara masih dalam suasana dingin dan tenang. Mesin politik seolah belum bergerak, kecuali hanya mempertontonkan suasana kontes berupa pendaftaran calon. Itupun seolah-olah hanya untuk mengesankan punya kekuatan yang nantinya bisa sebagai “bargaining” atau tawar menawar antar partai.

Sebutlah Partai Demokrat, yang memiliki 2 kursi di DPRD Jepara. Meski dengan kekuatan kursi terlemah yang sepadan dengan PKS dan PAN, partai berlambang Merci itu seolah ingin menawarkan diri dengan partai kelas menengah. Sebutlah PDIP dan Gerindra yang masing-masing memiliki 8 kursi. Jika PDIP bersama Demokrat sudah punya calon dari hasil pendaftaran di internal masing-masing, tentu sangat mudah merealisasikan koalisi menuju Jepara 1 dan Jepara 2.

Mayoritas DPAC PDIP bahkan bisa disebut keseluruhan, setidaknya sudah membulatkan dukungan pada kader internal sekaligus mantan Bupati Jepara, Dian Kristiandi. Andi menjadi bupati menggantikan Marzuki yang tersandung perkara korupsi KPK, dengan beragam drama maupun intrik politik yang menyertai.

blank

Bermula dari peristiwa politik ini pula, masih ada beban psikologis bagi PPP untuk membangun koalisi dengan PDIP. Marzuki maju dalam kontestasi bupati tidak melewati jalur PPP sebagai partainya, dan “terjatuh” dengan menyisakan stigma sebagai tokoh PPP.

Langkah politik yang pernah ditempuh Marzuki seolah ingin diikuti putranya, Ibnu Hajar. Melalui Partai Demokrat, Hajar sebagai politisi muda PPP kelahiran 1990an itu mendaftarkan diri sebagai bakal calon wakil bupati. Berdasarkan sejumlah nama yang sudah masuk dalam proses internal PDIP dan Demokrat, sangat memungkinkan nama Dian Kristiandi dipasangkan dengan Ibnu Hajar. Tentu tidak perlu mempedulikan modal finansial politiknya, karena harapannya PPP akan tertarik bergabung karena kadernya sudah diusung.

Tentu menjadi keironisan jika PPP yang memiliki keistimewaan mengusung calon sendiri, justru bergantung pada skenario politik partai lain. PPP yang memiliki 10 kursi sekaligus berpeluang memimpin DPRD Jepara, mestinya berani mengusung calon bupati dari kader internal. Sejumlah nama kader sudah sering disebut, seperti Gus Haiz yang kebetulan ipar dari Ibnu Hajar, termasuk Masykuri yang menduduki posisi ketua DPC PPP Jepara, yang kebetulan juga paman dari kedua politisi muda PPP tersebut.

Untuk membesarkan partai, menjadi mutlak kader internal harus berani dan percaya diri meraih dukungan masyarakat sebagai bupati. Koalisi ijo royo-royo adalah aspirasi yang sangat kuat beredar menyangkut PPP. Bisa jadi koalisi dibangun antara PPP dengan PKB, atau PPP dengan tokoh NU potensial seperti Ketua Muslimat atau pengurus NU lainnya.

Pada sisi lain, Nasdem menjadi satu-satunya partai yang sudah percaya diri mengumumkan kandidat di luar partainya. Sosok bernama Witiarso Utomo bahkan diprediksikan jauh jauh hari oleh ketua DPC Nasdem Jepara akan menjadi calon tunggal dalam Pilbup tahun ini. Keyakinan itu setidaknya dilandasi oleh proses pengawalan yang dilakukan oleh KH. Khayatun yang kebetulan menduduki jabatan Ketua Syuriyah PCNU.

Pengawalan sudah dilakukan sejak tahun-tahun yang lalu dengan sering menghadirkan dalam sejumlah forum NU, sekaligus mendampingi Mas Wiwit mendaftar dalam proses penjaringan di PDIP dan Demokrat.

Tidak peduli tentang komitmen khittah NU dalam politik praktis, sehingga seolah bahkan ingin menciptakan pasangan Mas Wiwit adalah tokoh NU yang selalu mendampinginya srlama ini. Namun melihat trend dukungan para fungsionaris partai-partai lain, sepertinya Nasdem mesti berjuang ekstra keras menawarkan kandidatnya. Langkah itu bisa saja menjajaki ke PAN, PKS, dan Golkar yang belum menunjukkan gerak dan sikap politiknya.

Arah politik masih sangat pagi. Sebagai wujud kontestasi, semua pihak mesti percaya diri untuk kontes atau mempertontonkan diri sebagai calon kandidat. Puluhan nama yang muncul adalah kesempatan sekaligus gambaran bahwa Pilbup tahun ini tidak ada kandidat yang dominan.

Kandidat dari internal partai kurang familiar di masyarakat, sedangkan kandidat non partai ternyata belum layak jual bagi partai politik. Pada situasi demikian, calon independen sesungguhnya menjadi alternatif terbaik meskipun intrik politik dan tingkat kerelawanan menjadi taruhan teramat mahal. Hal yang jelas, pilkada itu lebih mudah atau tidak jelimet karena preferensi pilihan masyarakat masih mudah berubah jelang beberapa jam masa pemilihan di TPS.

(Muh Khamdan, Doktor Studi Agama dan Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pembina Paradigma Institute)