Manusia badut tersebut dengan gampangnya bisa kita temukan, kita ajak ngobrol apalagi swafoto. Asal mereka memperoleh cuan, mereka lebih cap mau.

Masalah Sosial Kota

Manusia badut ini barangkali termasuk kaukus penyandang masalah sosial kota. Problematik manusia badut yang meringis di jalanan kota bukan hal baru, karena selama puluhan tahun saya tinggal salah satu kota di Jawa Tengah, praktik manusia badut acap hadir seolah tak mengenal musim: panen raya, paceklik, atau inflasi.

Tahun pelajaran baru, memang pada dasarnya lebih mudah masyarakat kita dorong dan gerakan menjadi kontingen kebaikan apalagi menyentuh hulu kemananusiaan kita. Misalnya, bantuan untuk beli sepatu, tas sekolah, seragam, bantuan alat tulis, maupun bantuan pendidikan lainnya, termasuk orangtua/wali asuh bagi anak-anak yatim.

Kadang kita dibikin ambigu dengan hadirnya manusia badut ini. Kita merasa iba, ingin memberi sepotong roti, sebungkus nasi atau menyelipkan sedikit uang recehan di kantongnya. Tapi, di ujung yang lain, kita berhadapan dengan perda yang melarang kita memberikan sesuatu kepada pengemis, gelandangan, pengamen, pemulung, manusia badut, manusia karung dan atau penyandang masalah sosial lain.

Harapm aklum, pembadut di jalan itu (mungkin) hal biasa, badut pasar biasa pula, badut ulang tahun juga hanya biasa, karena penghasilannya juga cuma biasa-biasa saja. Cukuplah badut-badut ini, mengisi dunia kita, melengkapi manis getir hidup ini.

Maka kemudian,badut harus naik kelas. Janganlah menjadi badut seumur-umur, apalagi sampai turun di jalanan bahkan sebagai badut politik.

Badut politik menurut Seno Gumira Ajidarma (Tempo, 13/11/2018) adalah kekonyolan karena yang membuat orang tertawa adalah kebodohannya. Badut dan Baduter, sah-sah saja, asal empan papan.

Soal manusia badut nampaknya bukan menjadi proyek abadi tapi telah menjadi PR abadi sepanjang tahun, dengan atau tanpa seremoni hari besar keagamaan.

Membaca manusia badut ini, membuka mata kita atas kemiskinan dan ketidakberdayaan yang masih menumpuk di serpihan kota, tapi kita kerap dibuat ngelus dada ketika mereka itu bukan berasal dari kelompok marjinal dan mereka ada yang mengorganisir, dikaryakan oleh kelompok tertentu bahkan datang dari luar kota.

Mental pecundang, pengemis dan miskin tak sedikit mendera masyarakat kita, seperti profesi yang digumuli para badut saat ini. Pada tembok lainnya, kita juga menjumpai kelompok masyarakat yang sibuk berkeliling mencari sumbangan untuk dirinya, atau gerombolan yang suka merintih minta dibuatkan kartu miskin untuk memanen sembako, beasiswa atau bantuan lainnya padahal mereka secara ekonomi lebih dari cukup.

Berdaulat

Pemandangan lainnya, ada saja orang kaya yang berebut dan merebut kue bantuan si miskin. Apalagi orang-orang yang secara terang-terangan merampok bantuan orang miskin dengan menghapus atau mengganti nama mereka dari list penerima bantuan/manfaat, memberi kupon bantuan palsu atau paling sadis korupsi bantuan kemanusiaan.

Mental, karakter miskin ini bahaya untuk merawat negeri ini. Maka kemudian, tentu pemerintah daerah tak tinggal diam. Tak sedikit intervensi ditempuh untuk mengurus kelompok manusia ini, seperti sosialisasi, pelatihan diversifikasi usaha, komodifikasi komoditas, bantuan keuangan, pendampingan dan hingga penetrasi pasar produk UMKM dari tangan binaan kelompok manusia badut, misalnya.

Negara hadir tak sekali dua, tapi selalu ada untuk warganya. Kadang kita bahkan merasa kasihan dengan pemerintah yang sudah menghabiskan angaran tak sedikit dengan aneka bantuan yang harapannya satu, mereka punya penghasilan, berdaya, dan mandiri.

Tapi apa lacur, acap kita temukan pula penyandang masalah sosial, termasuk manusia badut ini yang pernah terdata, dibina, dilatih dan dibantu, eh ternyata turun gunung lagi, merumput di bengalnya traffic tlight kota, di pengapnya jalanan kota. Sepotong narasi dan praktik yang selalu menindih setiap tahun.

Memang tak mudah membalik mental kere atau mental miskin ke mental kaya, mental bos. Itulah tantangan dan ujian kita bersama untuk memberdayakan mereka menjadi manusia merdeka yang berkarya dan bermartabat.

Jujur saja, saat mereka sedang menjalani profesi sebagai manusia badut ini, sebetulnya mereka ini telah mendegradasikan dirinya pada level rendah bahkan rendahan, karena hanya lebih suka dan bersemangat untuk meminta (meski tak meminta), menafikan nilai pemanusiaan diri sesungguhnya meskipun berkedok menghibur.

Setiap kita menemukan permasalahan manusia badut dan sebangsanya acap terjadi pergumulan, terjadi tabrakan nilai antara cinta dan benci, madu dan racun, dan sebagainya.

Regulasi saja tak cukup menyantuni mereka (kapok) turun di jalanan. Inilah ruang penyadaran kita, ya pemikiran kita bersama membawa mereka berdaulat secara mental dan ekonomi, tidak subsisten tapi kemandirian.

Kita ingin, mereka mampu meraih sumber ekonomi baru dengan pendapatan yang tak hanya kesementaraan. Ataukah kita beramai-ramai membuka kembali novelnya Agus Noor, perihal orang miskin yang bahagia.

Marjono, Kepala UPPD/Samsat Kabupaten Tegal, Jawa Tengah