Oleh : Nur Ahmad Dzul Fikri
Jepara telah lama dikenal sebagai pusat industri kreatif berbasis ukir kayu. Namun, kehadiran berbagai pabrik yang mampu menyerap ratusan ribu tenaga kerja perempuan mengubah lanskap sosial ekonomi daerah ini.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jepara, sektor industri manufakture menyerap sekitar 40% tenaga kerja, di mana mayoritasnya adalah perempuan. Hal ini membuka peluang bagi mereka untuk mendapatkan manfaat finansial dan meningkatkan kesejahteraan keluarga.
Namun, di balik dampak positif tersebut, ada masalah sosial yang mulai muncul. Banyak perempuan Jepara yang terjebak dalam gaya hidup glamour dan konsumtif akibat pekerjaan di pabrik. Sementara anak-anak muda, khususnya pelajar SMA,SMA dan MA memilih putus sekolah demi pekerjaan instan. Atau anak lulusan SMP / MTs mulai memilih tidak melanjutkan pendidikan, sebab peluang kerja telah terbuka
Karena itu fenomena diatas ini bagaikan pedang bermata dua. Pabrik memberikan kesempatan ekonomi, terutama bagi perempuan yang sebelumnya sulit mendapatkan pekerjaan. Namun, kebebasan finansial yang diiringi gaya hidup konsumtif sering kali berdampak negatif, baik pada struktur sosial maupun budaya.
Lebih mengkhawatirkan lagi, generasi muda yang seharusnya melanjutkan pendidikan justru mengorbankan masa depan mereka dengan memilih bekerja di pabrik. Sebab dengan bekerja di sektor manufaktur mereka telah mendapatkan pendapatan bulanan yang tetap dengan sandar upah yang jelas.
Akibatnya banyak perempuan Jepara mulai membangun kehidupan mandiri. Mereka dapat membeli barang yang sebelumnya sulit dijangkau, seperti pakaian bermerek, HP terbaru, atau nongkrong di kafe-kafe modern. Mereka banyak yang kemudian memilih kos ketimbang pulang kerumah.
Fenomena ini diperparah oleh pengaruh media sosial, di mana gaya hidup glamor menjadi trend yang diikuti oleh banyak pekerja pabrik. Bukan hanya itu, banyak pula yang terjerat kredit kredit barang mewah dan berujung menimbulkan masalah karena tidak dibayar.
Seorang pekerja pabrik di Kecamatan Kalinyamatan, Farida ( 35 tahun), mengatakan Hasil kerja saya lebih banyak dipakai untuk beli barang online atau liburan dengan teman-teman. Juga diperuntukkan bagi anaknya tanpa harus merepotkan suami. Rasanya senang bisa punya uang sendiri tanpa bergantung pada suami.
Berdasarkan survei kecil oleh komunitas lokal, 70% pekerja perempuan di pabrik menghabiskan sebagian besar penghasilan mereka untuk kebutuhan konsumtif, sementara hanya 20% yang menabung atau berinvestasi untuk masa depan.
Kehadiran pabrik juga memengaruhi keputusan remaja SMA/MA/SMK di Jepara. Banyak dari mereka memilih untuk berhenti sekolah demi mendapatkan gaji instan di pabrik. Dengan pendapatan rata-rata Rp 2 juta hingga Rp3 juta per bulan, pekerjaan ini dianggap lebih menguntungkan dibandingkan melanjutkan pendidikan yang memakan biaya dan waktu. Ironisnya, setelah tamat tidak ada jeminan dapat bekerja
Dinas Pendidikan, Pemuad dan Olahraga Jepara mencatat peningkatan angka putus sekolah sebesar 15 % dalam lima tahun terakhir, terutama di kalangan siswa SMA di kawasan industri seperti Tahunan dan Batealit.
Menurut perspektif sosiologi pendidikan, fenomena ini dikenal sebagai short-term economic satisfaction (kepuasan ekonomi jangka pendek), di mana kebutuhan jangka pendek mengalahkan pentingnya investasi pendidikan untuk jangka panjang.
Adel, seorang lulusan salah satu SMK di Jepara, mengatakan kerja di pabrik lebih cepat dapat uang daripada kuliah. Tapi sekarang, setelah saya menjalaninya beberapa tahun ini saya merasa terperas seperti mesin dan dengan pendidikan yang rendah saya tidak dapat memiliki perkerjaan lainnya dan terpaksa terus menekuninya.
Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran terkait sumber daya manusia (SDM) Jepara. Dengan generasi muda yang kurang berpendidikan, Jepara berisiko kehilangan talenta lokal yang bisa berkontribusi lebih besar dalam pengembangan daerah. Keterlibatan perempuan dalam seni tradisional seperti ukir juga semakin menurun, seiring dengan perubahan orientasi mereka ke pekerjaan pabrik.
Dampak pabrik terhadap kehidupan wanita di Jepara ini sangat kompleks daan juga sulit untuk mencari jalan keluarnya. Meskipun pabrik memberikan kesempatan kerja dan pemberdayaan ekonomi, namun juga menimbulkan permasalahan lingkungan, sosial, dan politik.
Oleh karena itu, perlu adanya perhatian lebih terhadap dampak pabrik dan upaya untuk meningkatkan kualitas hidup wanita pekerja pabrik di Jepara. Pemerintah dan pengusaha harus bekerja sama untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih baik dan mendukung pemberdayaan wanita di Jepara
Masalah ini memerlukan perhatian dari pemerintah atau komunitas lokal perlu memberikan pelatihan tentang pengelolaan keuangan, sehingga pekerja pabrik dapat memanfaatkan penghasilan mereka dengan bijak. Anak-anak pekerja pabrik perlu didukung dengan beasiswa agar tetap melanjutkan pendidikan.
Perlu juga dilakukan kampanye kesadaran pentingnya pendidikan. Sekolah, keluarga, dan masyarakat harus bekerja sama untuk menunjukkan pentingnya pendidikan sebagai investasi masa depan.
Dengan pendekatan yang tepat, Jepara tidak hanya bisa memanfaatkan dampak positif dari pabrik, tetapi juga menjaga kualitas SDM dan warisan budaya lokalnya. Kehidupan glamor tidak selalu buruk, tetapi tanpa pendidikan, moralitas, ketrampilan dan perencanaan yang matang, materi bisa menjadi jebakan yang merusak masyarakat Jepara
Penulis adalah mahasiswa program studi Komunikasi dan Penyiaran Islam Unisnu Jepara dan Pengurus Lembaga Pers Mahasiswa Fokus periode 2024-2025