Oleh : Djoko T Purnomo
Balai Besar Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara, seharusnya menjadi teladan dalam pengelolaan budidaya perikanan berkelanjutan. Pelanggaran sekecil apapun seharusnya dihindarkan, sebab bisa mencoreng reputasi institusi yang memiliki kedudukan sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Apalagi jika pelanggaran menyangkut dugaan ketiadaan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), manipulasi pengadaan barang dan jasa, diskriminasi tenaga kerja, hingga dugaan potensi korupsi
Dalam kajian ini, tidak hanya dianalisis berbagai aspek hukum yang dilanggar, tetapi juga diusulkan langkah-langkah strategis untuk memperbaiki tata kelola BBPBAP. Kajian ini diharapkan diapat menjadi referensi penting bagi pemangku kebijakan, penegak hukum, dan masyarakat untuk mengawal transparansi, akuntabilitas, dan keberlanjutan pengelolaan sumber daya perikanan di Indonesia.
Menurut penulis, pelanggaran terhadap kewajiban memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) oleh Balai Besar Budidaya Air Payau (BBPBAP) sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memerlukan tindakan tegas dan sistematis, mengingat BBPBAP berfungsi sebagai percontohan dalam budidaya perikanan yang berkelanjutan.
Karena itu perlu dilakukan langkah-langkah yang dapat diambil terhadap lembaga ini. Diantaranya melakukan Evaluasi dan Investigasi Internal yang meliputi audit khusus oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan membentuk tim audit khusus untuk melakukan investigasi terhadap pelanggaran IPAL dan mengidentifikasi sejauh mana kelalaian terjadi. Kemudian Evaluasi Kinerja Manajemen secara mendalam, termasuk tanggung jawab pengawasan terhadap kepatuhan regulasi lingkungan.
Sanksi Administratif atas pelanggaran yang ditemukan melalui peringatan tertulis oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan mekanisme di KKP. Juga dapat dilakukan penundaan promosi atau rotasi jabatan, sebagai bentuk sanksi atas pelanggaran yang dilakukan. Bahkan dapat dipindahkan ke posisi lain. Berikutnya sangsi yang paling berat dalam organisasi adalah pemberhentian dari jabatan jika terbukti ditemukan pelanggaran secara sengaja.
Berikutnya adalah tindakan hukum atas tindak pidana lingkungan jika ketiadaan IPAL menyebabkan pencemaran lingkungan. Penanggungjaweab kegiatan dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sementara jika ditemukan ada indikasi korupsi dan penyalahgunaan wewenang terkait anggaran IPAL, pelanggaran dapat dilaporkan ke aparat penegak hukum untuk diproses sesuai dengan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Korupsi dan Penyalahgunaan Wewenang
Hal penting lain menurut penulis adalah langkah perbaikan dan pemulihan. Perlu dilakukan Penyusunan Rencana Pemenuhan IPAL. Kepala UPT wajib menyusun dan mengimplementasikan rencana pemenuhan IPAL sesuai dengan standar Permen KP. Juga Penguatan Tata Kelola dimana KKP harus memastikan adanya peningkatan pengawasan internal dan penegakan standar operasional prosedur (SOP) di seluruh UPT. Berikutnya adalah Pelatihan dan Edukasi melalui pelatihan ulang kepada seluruh pejabat di BBPBAP mengenai pentingnya kepatuhan terhadap regulasi lingkungan.
Pelibatan pihak eksternal menurut penulis juga sangat perlu dilakukan. Diantaranya melalui pengawasan oleh masyarakat dan LSM. KKP dapat melibatkan masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat untuk melakukan pengawasan eksternal terhadap pelaksanaan IPAL di BBPBAP. Juga konsultasi dengan ahli dengan melibatkan ahli lingkungan untuk merancang sistem IPAL yang sesuai dan menghindari pelanggaran serupa di masa depan.
Public Disclosure
Transparansi dan Akuntabilitas: Hasil audit dan rencana perbaikan harus dipublikasikan kepada masyarakat untuk menunjukkan komitmen KKP dalam menegakkan tata kelola yang baik.
Sebab kesaksian masyarakat sekitar tambak tanpa IPAL milik BBPBAP Jepara di daerah Poncol dan Jalan Pemandian Kartini Bulu menunjukkan adanya dampak lingkungan yang cukup serius.
Berdasarkan pengakuan beberapa warga, masalah utama yang mereka alami adalah munculnya air berbau dan berwarna hitam. Ini diduga karena limbah tambak yang tidak diolah dengan baik menyebabkan air di sekitar tambak berbau menyengat dan berubah menjadi hitam pekat. Hal ini mengindikasikan adanya pencemaran limbah organik yang tidak terkelola, sehingga menurunkan kualitas air di lingkungan sekitar.
Namun meskipun kondisi lingkungan memburuk, warga yang terdampak tidak melakukan protes atau komplain. Salah satu alasannya adalah mereka merasa “terkompensasi” karena setiap panen tambak, pihak tambak memberikan udang BS (udang yang tidak memenuhi standar pasar) sebanyak 1 kilogram kepada warga sekitar.
Analisis Situasi
Berdasarkan pengamatan penulis dalam kasus ini telah terjadi kompensasi yang tidak seimbang Pemberian udang BS 1 kg setiap panen tidak menyelesaikan masalah lingkungan yang lebih besar. Dampak kesehatan, kualitas hidup, dan kerusakan lingkungan jauh lebih signifikan dibandingkan kompensasi tersebut.
Kemudian kesadaran dan ketergantungan warga atas pemberian udang BS tersebut menyebabkan warga enggan menyampaiakan keluhannya meskipun dampak lingkungan mengganggu kehidupan sehari-hari.
Potensi penyalahgunaan sistem ketidak seimbangan ini berisiko menciptakan kondisi di mana pelaku usaha tidak terdorong untuk memperbaiki pengelolaan limbahnya, karena merasa telah “membayar” warga dengan kompensasi kecil.
Rekomendasi Tindakan
Perlu dilakukan peningkatan kesadaran warga agar masyarakat mengetahui hak-hak mereka terkait lingkungan hidup yang sehat sesuai Pasal 28H UUD 1945. Juga perlu dijelaskan dampak jangka panjang dari pencemaran lingkungan terhadap kesehatan dan kesejahteraan.
Pemeriksaan dan pemantauan lingkungan juga perlu dilakukan dengan meminta instansi terkait seperti DLH (Dinas Lingkungan Hidup) untuk melakukan pengawasan ketat terhadap aktivitas tambak. Juga mengadakan uji kualitas air untuk memastikan tingkat pencemaran dan dampaknya terhadap lingkungan.
Kesimpulan
Terkait dengan tindakan atas dugaan kelalian atau pelanggaran yang dilakukan oleh manajemen UPT BBPBAP harus mencerminkan prinsip keadilan, akuntabilitas, dan transparansi. Pelanggaran IPAL oleh UPT yang berfungsi sebagai percontohan tidak hanya mencoreng kredibilitas KKP, tetapi juga merusak kepercayaan publik.
Langkah-langkah tegas dan perbaikan sistemik diperlukan untuk memastikan bahwa seluruh UPT KKP mematuhi regulasi lingkungan dan menjadi teladan dalam pengelolaan budidaya perikanan yang berkelanjutan. Sebab UPT KKP ini merupakan garda terdepan dan wajah KKP di tengah-tengah rakyat yang seharusnya menunjukkan sebagai teladan rakyat dalam pengelolaan budidaya perikanan berkelanjutan.
Penulis adalah Ketua Umum Indonesia Bekerja