blank
Foto: Istimewa

Oleh: Dr. Muh Khamdan

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada awal 2025 untuk menghapuskan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT), menjadi tonggak sejarah penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Keputusan ini mengakhiri perdebatan panjang yang sudah dimulai sejak pemberlakuan ambang batas pada Pemilu 2004.

Mengingat besarnya implikasi politiknya, penghapusan PT bukan sekadar kemenangan teknis dalam sistem pemilu, tetapi juga sebuah kemenangan bagi masyarakat sipil yang selama bertahun-tahun berjuang agar ruang politik menjadi lebih terbuka dan inklusif.

Ambang batas pencalonan presiden pertama kali diterapkan dengan alasan untuk menciptakan stabilitas politik, sekaligus mencegah terjadinya fragmentasi yang berlebihan dalam politik Indonesia. Namun, jauh dari menciptakan stabilitas, PT justru menciptakan oligarki politik di tingkat eksekutif dan legislatif.

Kebijakan ini mengunci kontestasi politik hanya untuk partai-partai besar yang memiliki mesin politik dan sumber daya besar, sementara calon presiden alternatif dari partai-partai kecil atau independen tidak memiliki peluang.

Melalui 36 kali gugatan yang diajukan oleh berbagai tokoh politik, aktivis, dan organisasi masyarakat sipil, PT terus menjadi bahan perdebatan. Para penggugat, seperti Yusril Ihza Mahendra, Rizal Ramli, Din Syamsuddin, hingga Refly Harun, secara konsisten menantang keputusan yang mereka anggap bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi.

Prinsip itu adalah hak setiap warga negara untuk memilih dan dipilih. Para penggugat berargumen bahwa PT melanggar konstitusi yang menjamin hak rakyat untuk berpartisipasi dalam pemilu tanpa hambatan.

Meskipun sudah ada gugatan berulang kali, MK sering kali menolak untuk menghapuskan PT, dengan alasan mempertahankan stabilitas politik. Baru pada tahun 2025, dengan dinamika politik yang semakin berkembang dan tuntutan dari publik yang semakin kuat, MK akhirnya memutuskan untuk menghapuskan presidential threshold. Keputusan ini datang setelah melihat ketidakadilan yang ditimbulkan oleh PT dan tekanan kuat dari masyarakat sipil yang menuntut adanya perubahan.

Kemenangan Bagi Demokrasi Indonesia

Keputusan MK pada 2 Januari 2025 ini, sesungguhnya hasil dari perjuangan panjang yang tidak hanya melibatkan gugatan hukum di pengadilan, tetapi juga gerakan-gerakan sosial yang mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi dan kesetaraan.

Organisasi-organisasi seperti Perludem dan Indonesia Corruption Watch (ICW) memainkan peran penting dalam mendesak perubahan ini. Mereka menyuarakan bahwa PT tidak hanya membatasi ruang bagi calon-calon presiden potensial, tetapi juga mengurangi pilihan bagi rakyat Indonesia.

Kemenangan ini menghapuskan hambatan yang selama ini ada dalam demokrasi Indonesia, dan membuka pintu bagi partai-partai kecil dan calon independen untuk berkompetisi secara lebih adil. Tidak ada lagi satu pihak yang dapat mendominasi proses politik hanya karena kekuatan partai besar yang memiliki akses ke sumber daya besar. Meski demikian, kemenangan ini menghadirkan adanya potensi besar yang harus dihadapi ke depan.

Tanpa PT, kita berisiko melihat fragmentasi politik yang lebih dalam. Banyaknya calon presiden yang dapat muncul, bisa jadi akan terjadi polarisasi yang lebih tajam di masyarakat. Sistem politik kita harus siap menghadapi kemungkinan munculnya banyak kandidat yang bersaing di arena yang sama.

Peran partai politik menjadi semakin penting. Partai-partai kecil harus memanfaatkan kesempatan ini untuk membangun kekuatan dan struktur yang solid agar bisa bersaing dengan partai-partai besar. Tanpa mekanisme internal yang kuat, partai kecil mungkin akan kesulitan dalam merekrut pemilih dan menyusun strategi kampanye yang efektif.

Kandidat yang muncul juga harus siap menawarkan narasi yang lebih inklusif dan membangun konsensus di tengah masyarakat yang terpecah. Kepemimpinan yang mampu menyatukan, bukan memecah, akan sangat diperlukan untuk menjaga keharmonisan politik. Hal yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana penghapusan PT membuka ruang bagi calon-calon pemimpin muda yang memiliki visi baru bagi bangsa ini.

Tanpa adanya pembatasan yang ketat, lebih banyak tokoh muda yang selama ini mungkin terpinggirkan dapat mencalonkan diri sebagai pemimpin. Ini adalah kesempatan bagi Indonesia untuk memperbaharui wajah kepemimpinan politiknya.

Pemimpin-pemimpin muda ini harus bisa membuktikan bahwa mereka lebih dari sekadar alternatif. Mereka harus mampu menawarkan gagasan-gagasan progresif yang relevan dengan tantangan zaman, seperti pembangunan ekonomi yang inklusif, reformasi birokrasi, dan penyelesaian ketimpangan sosial.

Penghapusan presidential threshold adalah sebuah langkah maju dalam memperkuat demokrasi Indonesia. Keputusan ini menunjukkan bahwa suara masyarakat sipil, yang terus memperjuangkan prinsip-prinsip demokrasi, akhirnya didengar.

Masyarakat kini memiliki lebih banyak ruang untuk memilih calon presiden dan wakil presiden yang sesuai dengan aspirasi mereka tanpa terhalang oleh ambang batas yang tidak adil. Kini, saatnya bagi kita untuk memastikan bahwa kesempatan ini dimanfaatkan sebaik-baiknya, untuk membangun demokrasi yang lebih inklusif, terbuka, dan berpihak pada rakyat.

[Dr. Muh Khamdan, Doktor Studi Agama dan Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dan Pembina Paradigma Institute]