blank
Badut jalanan (ilustrasi). Foto/Reka: wied

Oleh Marjonoblank

JALANAN kita belakangan banyak disuguhi pemandangan orang-orang yang seolah hidupnya berat yang divisualkan dengan cara mereka mengais rejeki di pundak hidupnya lewat aksi atau pertunjukan yang menyolok dari aneka warna kostum, rerupa model rambut berlenggak-lenggok di jalanan.

Mereka inilah kelompok manusia badut yang terus dan optimis mengaduk iba orang lain untuk merogoh kemanusiaannya, berupa uang, makanan, sembako atau paket lainnya. Sebelumnya, berjejalan manusia silver, manusia kardus, kemudian juga berderet pengamen, dan seterusnya.

Kalau kita amati, badut itu rerata berkostum menarik perhatian, berwarna-warni dan acap mengenakan pakaian badut tokoh-tokoh kartun tertentu, misalnya Donald Bebek, Dora, Doramenon, Ipin-Upin, atau seperti sosok Cinderella, Princess, dan sebagainya.

Pembadut ini jarang bahkan nihil yang memakai busana badut ala tokoh-tokoh yang dibenci karena peran jahat, umpama saja tokoh raksasa atau Buta (baca: buto) dalam pewayangan.

Etalase kemanusiaan yang dipertunjukkan para manusia badut ini beragam, bisa secara solo karier tapi juga ada yang berkelompok 2-3 orang bahkan lebih maupun keluarga bahkan dengan nekat menyewa anak kecil yang dipermak dengan fesyen badut.

Sekarang, badut hadir di mana-mana. Di agenda ulang tahun anak balita, acara karnaval Agustusan, di pasar-pasar, pada ruang-ruang pembacaan puisi, restoran, pesta pernikahan, supporter sepak bola di stadion, panggung komedi bahkan dalam kekinian badut pun hadir di mal, taman kota, aktor kriminal bahkan ke dalam barisan para demonstran, dll.

Coba kita jalan sedikit melambat kala melintas ruas jalan protokol di hampir setiap kota di negeri ini, tak  terkecuali di Kota Semarang, Jogja, Solo, Surabaya, apalagi Jakata bahkan sekarang sudah merangsek ke jalanan kawasan pedesaan dengan bekeliling.