Oleh: Amir Machmud NS
TERSENYUM simpul juga rasanya menyimak produk kreativitas penggagas konten media. Kadang terkesan aneh-aneh, bernuansa humor, nyerempet-nyerempet naluri purba manusia; tak jarang pula bersubstansi guyon maton: kental berbalut humor, namun edukatif dan mencerahkan.
Ganjar Pranowo tampil sebagai “talent” dalam tayangan serius azan magrib di RCTI. Dari sisi konten, bukankah ini karakter eksepsional? Atau sebaliknya sah-sah saja kita menyebutnya sebagai hal biasa.
Eksepsional, karena bahkan tak pernah ada dalam sejarah tayangan televisi, seorang pejabat publik (kini Ganjar berstatus mantan Gubernur Jawa Tengah) ditampilkan sebagai “aktor” dalam program serupa. Apalagi dalam status terkininya sebagai calon presiden, lengkaplah eksepsionalitas itu.
Sebaliknya, kita bisa melihatnya sebagai tayangan yang biasa-biasa saja. Bukankah secara alamiah konten media butuh menghadirkan sosok dengan kelebihan-kelebihan performa? Ya yang bersifat ekstrinsik, ya dari aura intrinsik.
Muncul dalam program tayangan azan magrib, apa pula kelirunya? Dia santri. Istrinya, Atikoh Suprianti dari keluarga pengasuh lembaga pendidikan berlatar Nahdlatul Ulama. Jadi, cukup pula asumsi argumentatifnya bahwa konten itu biasa-biasa saja.
Media selalu membutuhkan eksplorasi ruang kreatif yang merupakan kemampuan menggali dan mengangkat ceruk ide. Penggagas program rupanya menemukan ceruk menampilkan Ganjar dengan segala kalkulasi risiko.
Stasiun televisinya dianggap melanggar etika penyiaran? Ada konflik kepentingan pemilik media yang adalah pimpinan salah satu partai politik pendukung Ganjar? Kok mendadak saleh? Bagaimana pandangan Bawaslu? Apa pula kata mereka yang biasa menyoroti praksis politik identitas: apakah tayangan azan berlatar belakang Ganjar terkategori serupa?
Kreativitas
Pendapat Ketua PW Muhammadiyah Jawa Tengah KH Tafsir bahwa tayangan itu murni produk kreativitas, patut kita pahami bukan sebagai sikap defensif pembelaan. Logika tidak ada segi apa pun yang dilanggar adalah penjelasan yang tak lagi perlu dicarikan justifikasi untuk menuding sebagai hal terlarang.
Bagi Tafsir, itu adalah kreativitas positif. Dalam praksis bermedia, siapa yang kreatif dan lebih dulu adalah yang akan menjadi pemenang di media.
Pada sisi yang lebih dalam, Anda bahkan patut menyikapinya sebagai bagian dari keterpanggilan dakwah, persuasi yang mengingatkan, ajakan bahwa kita sudah masuk waktu shalat.
Diedukasi dalam hal ibadah oleh figur publik dengan pesona seperti Ganjar Pranowo, tentu menjadi magnet dakwah yang luar biasa.
Memang, bias budaya pop juga pasti kita tangkap di balik tayangan ini. Jangankan memberi ilustrasi azan dengan sosok sepopuler Ganjar, menampilkannya untuk program yang lekat dengan aktivitas umat adalah juga sebuah ide “out of the box” yang memberi nuansa “pembeda”.
Budaya pop — dalam konotasi “gas pol” untuk mengeksplorasi segi-segi yang bersifat daya pikat entertainment — tak jarang mengusung hal-hal yang di luar dugaan.
Saya menikmati saja “geger” Ganjar Pranowo yang ditampilkan sebagai “talent” untuk acara televisi itu. Terlepas dari kondisioning pro-kontra tayangan tersebut, pada sisi lain menunjukkan mantan gubernur Jawa Tengah itu memiliki gravitasi magnetis yang kuat.
Nah, boleh juga kalau suatu saat nanti ketemu beliau, sampaikan bahwa Anda memberi tambahan predikat kepadanya: Ganjar, Sang Talent Tayangan Azan…
— Amir Machmud NS; dosen Ilmu Jurnalistik Fiskom UKSW, wartawan suarabaru.id, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah