blank
Koko Prabu bersama istri dan sang anak. Foto: riyan

Pada saat aku takut
Aku memilih melayani

Pada saat aku lelah
Mereka menggenggamku

BEGITULAH sepenggal puisi yang dibaca Koko Prabu, orang tua penyintas Cornelia de Lange Syndrome (CdLS), secara terbata-bata, saat disampaikan pada sejumlah awak media, di sesi konferensi pers.

Dia menyampaikan puisi itu, sebagai gambaran betapa berat beban keluarganya, ketika harus menerima keadaan anak kandungnya yang menderita CdLS. Namun dengan menyemangati dirinya sendiri, dia bangkit untuk membantu keluarga yang memiliki anak dengan kondisi yang sama.

”Dulu, saat saya memiliki anak CdLS, saya benar-benar takut. Apakah saya bisa merawat, apakah saya bisa membiayai. Tapi saya nekat memasuki “lorong gelap” itu, untuk membunuh rasa takut ini. Kini saya terus berupaya dengan cara melayani anak-anak CdLS secara maksimal,” kata Koko Prabu, yang kini menjadi Ketua Yayasan CdLS Indonesia.

BACA JUGA: Dapat Memicu Asam Lambung, Ini 5 Dampak Terlalu Seing Mengonsumsi Teh Manis Saat Berbuka

Pria dengan perawakan tinggi besar, yang ditemui belum lama ini di Kampus Soegijapranata Catholic University (SCU) Semarang itu menyampaikan, saat ini populasi CdLS terus meningkat.

Keberadaan Koko Prabu bersama sejumlah orang tua penyintas CdLS di kampus itu, memang ada tujuannya. SCU berinisiatif membuka ruang komunikasi antara orang tua penyintas, pakar kesehatan dan masyarakat umum, untuk mengetahui apa itu CdLS.

Bersama Yayasan Sindrom Cornelia Indonesia dan Gambaran Brand, SCU menggelar seminar dengan tema ‘Mengenal dan Peduli CDLS’ itu, di Ruang Theater, Gedung Thomas Aquinas, Kampus 1.

BACA JUGA: Jangan Mencuci Muka Terlalu Sering, 5 Tips Atasi Kulit Kering saat Puasa

Seminar ini menghadirkan empat orang narasumber, dr Indra Adi Susianto Msi Med SpOG (Dosen Fakultas Kedokteran SCU), Dyah Wulandari Phd (Dosen Fakultas Teknologi Pertanian SCU), Dian Kurniawati (Orang Tua Penyintas CdLS), dan dr Riza Sahyuni MKes SpA (K) sebagai dokter spesialis anak.

Kegiatan yang diprakarsai Arto Biantoro, salah satu pengawas Yayasan Sindrom Cornelia Indonesia, sekaligus aktivitas brand lokal Indonesia ini, diawali dengan perjalanan bersama salah satunya temannya, dengan bersepeda sepanjang 480 km, dari Jakarta menuju Semarang.

Kegiatan ini dilakukannya, bertujuan untuk menyosialisasikan Sindrom Cornelia de Lange atau Cornelia de Lange Syndrome (CdLS), ke semua tempat yang dia singgahi selama kegiatan Xtreme Impact 2023.

BACA JUGA: Ini Manfaat Konsumsi Buah dan Sayur saat Puasa

Sementara itu, Rektor SCU, Dr Ferdinandus Hindiarto SPsi MSi, menegaskan, kepedulian pihaknya pada orang tua dan penyandang CdLS, sesuai dengan semangat ‘Talenta Pro Patria et Humanitate’. Kampanye juga akan dilakukan untuk menyasar kepada para mahasiswa sebagai bentuk pendalaman terkait CdLS.

Seperti dikutip dari Yayasan Sindrom Cornelia Indonesia, CdLS adalah kelainan genetik. Ini disebabkan mutasi spontan, pada saat pembuahan yang tidak dapat dicegah, bukan karena virus atau bakteri.

Gangguan langka ini menyerang anak sejak dalam kandungan. Anak yang terkena dapat mengalami keterlambatan perkembangan fisik, baik sebelum maupun setelah lahir. Anak akan memiliki fitur wajah yang khas, malformasi ekstremitas serta gangguan intelektual.

BACA JUGA: Sering Merasa Mengantuk Saat Puasa? Simak 5 Tips ini…

Dilansir dari childrenshospital.org, penyandang CdLS memiliki ciri lain yakni, malformasi tangan dan lengan, mikrosefali, kejang, gangguan spektrum autisme, keterbelakangan organ seksual, celah langit-langit, cacat jantung, alis melengkung atau alis yang beremu di garis tengah.

Selain itu, ada pula ciri lainnya, seperti gangguan pendengaran, pertumbuhan rambut yang berlebihan, rabun jauh (miopi) dan kelainan pada gigi.

Pada kasus CdLS yang ringan, beberapa gejala itu mungkin kurang serius, atau bahkan tidak ada sama sekali. Di Indonesia, diperkirakan ada sekitar 160 anak terlahir dan tersebar di segala penjuru.

BACA JUGA: Ini Tips Lancar Berpuasa bagi Kamu yang Punya Tekanan Darah Rendah

CdLS sendiri diketemukan pertama kali oleh Winfried Brachmann pada 1916. Kemudian penemuan ini diteruskan bersama dengan dr Cornelia Catharina de Lange pada 1933.

Dyah Wulandari Phd menyampaikan, sebagai salah satu perguruan tinggi yang ikut terlibat, pihaknya sudah memiliki alat untuk memantau gejala molekuler, yang dapat mengetahui letak di gen mana mutasi itu terjadi. Sehingga dapat lebih dini untuk mengetahui gejala CdLS, dan termasuk dalam kondisi ringan atau berat.

Dengan adanya sosialisasi ini, diharapkan CdLS semakin dikenal di Indonesia, sehingga mengundang banyak keterlibatan ahli pangan, psikolog, dan dokter anak, agar mampu membuka jalan bagi para orang tua penyandang CdLS, untuk mendapatkan dukungan dan bantuan.

Banyaknya pihak yang terlibat, diharapkan juga akan menemukan penelitian baru, yang dapat memperpanjang masa dan memperbaiki kualitas hidup anak-anak penyandang CdLS.

Riyan