blank
Ilustrasi: wied

JC Tukiman Tarunasayoga

blank
JC Tukiman Tarunasayoga

Pernahkah Anda bertemu, bergaul, dan/atau jangan-jangan nglakoni dhewe, yaitu menjalankan sendiri,   dengan sikap semangkeyan?

Apakah semangkeyan hanya dimiliki oleh orang tertentu, ataukah siapa saja dapat terjangkiti?

Semacam penyakit menularkah semangkeyan itu, sehingga dapat menjalar seperti ranting dan sulur pohon semangka, misalnya?

Ada beberapa catatan awal sebelum semangkeyan dibahas panjang lebar. Pertama, tembung semangkeyan ini hendaklah Anda baca sebagaimana mengucapkan sampeyan atau pun sebagaimana Anda mengucapkan: “Aduh, aku cape, nih!”

Baca juga  Kabul

Kedua, semangkeyan ini semata-mata sebuah pocapan, sebuah ungkapan saja untuk melukiskan sikap seseorang. Dan yang ketiga, menegaskan saja bahwa kata ini kena-mengena dengan sikap, atau sebutlah perilaku orang yang mungkin saja permanen, mungkin juga bisa hilang atau berkurang.

Makna

Orang kaya sangat mungkin bersikap semangkeyan, tetapi orang tidak berpunya pun sangat mungkin; hal yang sama dapat terjadi pada diri orang berpangkat atau pun tidak punya pangkat atau jabatan apa pun. Politisi sangat mungkin semangkeyan, seperti halnya suporter sepak bola juga dapat sangat semangkeyan.

Pendek kata siapa saja dapat bersikap semangkeyan, sebab makna yang terkandung dalam pocapan semangkeyan ini ialah, orang bersikap dumeh (bacalah seperti mengucapkan gurameh), yaitu “karena …………, maka ………..”

Contohnya, karena merasa pejabat, maka ia bersikap sombong, jaim, bergaya. Seorang teman yang bekerja di sebuah kantor kementerian di sebuah kabupaten mengisahkan betapa bergayanya seorang Plt Dirjen yang sedang berkunjung ke kabupaten itu.

Sejak dari airport sang Plt itu sudah tersinggung karena dijemput hanya menggunakan mobil Avanza, dan ketersinggungannya bertambah ketika sang  Plt itu dijamu makan siang hanya di sebuah warung makan.

Baca juga Ora Sranta

Keesokan harinya, menjadi-jadilah, -mulai dari A sampai Z- , ketersinggungannya dan itu terungkap jelas di sambutannya selaku “pejabat dari Jakarta.” Itulah contoh konkret semangkeyan.

Intinya, semangkeyan itu berkaitan dengan sikap yang sangat jelas terekspresi ketika orang itu dalam keadaan “karena ……..maka ………” tadi.  Sejumlah politisi yang sering bersikap semangkeyan ya terdorong oleh kondisi dan sangat mungkin posisinya, seolah-olah terdorong harus tampil semangkeyan: karena …….. maka ……

Orang-orang bersikap semangkeyan, terutama  bergaya karena berbagai pemicunya, misal “Kapan lagi aku akan bergaya kalau tidak saat ini?” Sangat boleh jadi juga: “Demi sebuah nama baik, ya harus bergaya, kudu semangkeyan-lah.” Dst. dsb.

Mudah hilangkah sikap semangkeyan itu? Ini pertanyaan menarik, maksudnya, bagi mereka yang bersikap semangkeyan karena (kebetulan) pegang jabatan; sangat mungkin Ketika kelak tidak lagi menjabat apa-apa, pun pula tidak lagi diambus wong, tidak lagi dihormati anak buah misalnya; besar kemungkinannya ia akan nglumpruk seperti sarung sobek.

Mau apa lagi yang masih akan dibanggakan, jabatan sudah tidak memiliki, gagah perkasanya juga sudah kalah oleh B empat: batuk-batuk, buyuten, budheg, beser. Uang juga mungkin sudah makin menipis.

Itu tadi contoh semangkeyan yang tidak permanen, dan semangkeyan yang permanen, karena memang gawan bayi, bawaan lahir; biasanya masih saja sering-sering muncul meskipun jan-jane ya wis mlebu kothak, bagaikan wayang, ia sudah dimasukkan kotak karena nanti tidak akan ditampilkan lagi. Mau contohnya? Ah ……… cari sendiri sajalah, kena pasal “perbuatan tidak menyenangkan” kalau memberi contoh apalagi menyebut nama.

Sebenarnya saya dapat berkisah panjang  tentang “professor semangkeyan” yang tidak mustahil ada di sejumlah kampus.

Intinya, justru karena saat ini sudah menyandang jabatan guru besar, ia tampil (semakin) semangkeyan, misalnya, selalu minta dilayani padahal harusnya melayani: mahasiswa disuruh datang ke rumahnya dan tidak mau di- WA dulu sehingga sering kecelik.

Jika tidak dipanggil lengkap gelar dan namanya, “Inggih Prof Badu” beliaunya tersinggung seraya bergumam: “Angel-angel golek guru besar, ora diurmati.” (sulit cari pangkat guru besar kok tidak dihargai). Jadi, semangkeyan juga sudah “masuk kampus.”

JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Universitas Katolik (UNIKA) Soegijapranata, Semarang