JC Tukiman Tarunasayoga
PEKAN kemarin, -antara 13 Februari sampai 18 Februari 2023- , oleh sebahagian warga masyarakat, ditandai sebagai pekan sangat menggembirakan. Mengapa? Kisah singkat berikut ini salah satu jawabannya.
Pagi-pagi hari Selasa, beberapa emak di RT 08 (saya di RT 06/XII) komplain kepada Bibi Nur, penjual sayur keliling, karena hari Senin tidak jualan. “Kok wingi ora ngider, piye ta?”
Ada apa kemarin tidak keliling seperti biasanya? Bibi Nur jawab serius: “Pun marem kula, kabul kula. Sedina wingi, saya hanya berada di depan TV mendengarkan vonis Sambo dan Putri.”
Baca juga Ora Sranta
Singkat kisah, bibi Nur merelakan satu hari bisnisnya untuk mengikuti jalannya sidang vonis Sambo dan PC, dan merasa puas atas putusan/vonis yang dijatuhkan hakim atas dua orang yang selama dua atau tiga bulan terakhir ini menyita perhatian masyarakat. “Pun marem kula, kabul,” ungkapan sangat menarik Bi Nur.
Kabul
Tentang tembung kabul, ada empat makna yang perlu kita telusuri keterkaitannya dengan hidup sehari-hari, dan bibi Nur telah memberikan salah satu contoh konkret pemaknaannya.
Kabul mengandung arti bebrek (bacalah seperti Anda mengucapkan mendekam, atau menelan) yaitu melukiskan kondisi sesuatu utamanya beras lawas, beras lama, yang tampak kusam, agak berbau, serta sedikit lengket. Malahan bisa jadi jika ditampi lagi akan ada semacam debunya. Bebrek.
Makna kedua kabul ialah panampaning pasrah, telah diterimanya pasrah oleh pihak keluarga pengantin laki-laki dari keluarga pengantin perempuan. Budaya pasrah pengantin, salah satu rangkaiannya ialah ada serah terima secara resmi dari pihak keluarga pengantin perempuan kepada pihak keluarga pengantin laki-laki; nah itulah kabul.
Kabul dalam konteks bibi Nur di atas bermakna kasembadan utawa kaleksanan panuwune, artinya apa yang diminta, apa yang dijadikan doa permohonan, atau apa yang diharap-harapkan, terkabul atau terlaksana. Bibi Nur rupanya jengkel sekali terhadap terdakwa, dan tentu saja berharap terdakwa itu divonis seberat-beratnya. Terbukti, yang satu divonis hukuman mati, satunya 20 tahun. “Pun marem kula. Kabul.”
Baca juga “Sedikit-Sedikit Istana”, Ora Ilok dan Ora Elok
Inilah rasa keadilan, inilah bukti betapa pentingnya keadilan itu benar-benar ditegakkan. Ora sanak ora kadang, bibi Nur itu bukan siapa-siapanya korban, bukan kerabat, bukan pula saudara kandung, dan pasti tidak mengenalnya. Namun karena merasa ada tindakan kejam yang sangat tidak manusiawi dan sangat tidak adil; rupanya bibi Nur sangat berharap agar orang itu diadili dan divonis sangat berat. Terbukti keadilan ditegakkan. Kabul.
Dan arti keempat kabul, ialah, -menguatkan makna ketiga- , ketekan kang digayuh utawa kang dijangka; yaitu sampailah kepada apa yang selama ini dicita-citakan, diperjuangkan. Sewaktu ada wisuda di perguruan tinggi, sering ada selebrasi melemparkan (ke atas) topi yang dipakainya. Itu salah satu contoh ungkapan betapa telah sampai puncaknya cita-cita yang selama ini diperjuangkan.
Bersyukurkah?
Apakah kabul sama dengan bersyukur? Tentulah antara kabul dan bersyukur itu kait-mengait; segera setelah merasa terkabul, seseorang mengungkapkan syukur kepada Allah-nya. Kalau di atas ada contoh selebrasi melempar topi ke atas pada rangkaian acara wisuda sarjana, misalnya; selebrasi rasa syukur mungkin saja berbeda.
Contohnya, setelah selesai wisuda, dilanjutkan ada makan bersama di restoran; atau mungkin saja di rumah ada juga yang menyelanggarakan kenduri, kembul bojana mengundang warga sekampung. Dan masih ada banyak contoh lain seperti apa ungkapan rasa syukur dilakukan.
Kalau menggunakan ungkapan pemazmur yang seluruhnya ada 150 Bab itu, di antara bunyi mazmurnya, mengatakan: “Bersyukurlah kepada Tuhan, sebab baiklah Dia.” Jadi, …………. terkabul dan bersyukur itu ranahNya Tuhan; manusia hanyalah bermohon, selanjutnya Allah yang mengabulkannya, maka bersyukurlah.
JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Universitas Katolik (UNIKA) Soegijapranata, Semarang