Dewan Pers sebagai lembaga yang dibentuk Undang-Undang No.40/1999 tentang Pers, seharusnya diberi kewenangan untuk merumuskan tugas fungsi badan pelaksana dan kriteria orang yang akan mengurusnya, bukan yang lain, apalagi wadah perseorangan. Wajar karena Dewan Pers adalah representasi dari konstiuen, yakni organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers Indonesia.

Di luar isyu itu, saya sendiri memberikan makalah di Silaturahmi Nasional SMSI pada tanggal 7 Februari di Aula Raja Inal Siregar, Kantor Gubernur Sumatera Utama, tentang ancaman eksistensi perusahaan pers skala menengah bawah, terkait dengan dikeluarkannya Peraturan Dewan Pers No.1 tahun 2023 pada 6 Januari lalu.

Di sini ada kewenangan Dewan Pers untuk mencabut status terverifikasi administrasi atau terverifikasi faktual dari semua media, apabila kontennya dianggap melanggar kode etik dan ada penetapan dari Komisi Pengaduan.

Ini aneh bin ajaib. Di UU No.40/1999 saja tidak ada sensor, apalagi breidel terkait isi media, kok Dewan Pers bisa menilai konten dan menjatuhkan sanksi non etik? Apakah pembuat rumusan ini tidak memahami UU No.40/1999?

Ada pula persyaratan bahwa media minimal memiliki 10 karyawan (termasuk wartawan), suatu batasan yang tidak jelas dasarnya. Di daerah banyak sekali media yang berkolaborasi, bergabung untuk saling memberi dan menerima berita, sehingga jumlah wartawan di lapangan 3-5 orang saja untuk membuat liputan khas lokal, sedangkan isyu nasional, internasional, olahraga, diambil dari induk sindikasi berita.

Hal lain adalah soal kelayakan fisik kantor. Sebelumnya diatur bahwa perusahaan pers boleh saja memiliki virtual office, karena bagi media siber hal itu normal di era digital sekarang. Yang pasti ada alamat dan nomor atau email kontak, sehingga kalau ada komplain, mudah dihubungi.