Ada pula yang makan bersama teman se Provinsi berkunjung ke Durian Ucok atau Bolang, dua tempat favorit di Medan saat ini. Selain durian tentu saja minum kopi. Sumut termasuk produsen kopi kelas dunia. Ada kopi gayo, mandailing, sidikalang, belakangan kopi karo.
Meskipun kedai kopi sudah ada sejak puluhan tahun, tetapi warung kopi Medan menjadi lebih bergaya karena pengaruh dari Provinsi tetangga Aceh. Di sini, minum kopi dilakukan sambil bekerja atau mengerjakan tugas kuliah, tidak lagi sekadar berbual-bual, ngobrol soal politik, ekonomi, sosial, budaya. Masuk warung kopi menjadi kegiatan kreatif dan produktif.
Ciri warkop seperti ini adalah, di mana-mana ada lubang untuk mengisi daya listrik laptop atau ponsel, dan sinyal gratisnya kuat.
Saya sendiri dalam satu hari bisa sampai lima kali minum kopi. Sekali pada waktu sarapan, setelah itu setiap makan, entah itu makan siang ataupun malam. Atau berbincang-bincang dengan kawan di tengah hari atau petang. Padahal biasanya maksimal tiga kali. Itulah Medan.
Urusan berikutnya adalah urusan perut. Sebelum ke Medan banyak sekali yang ingin saya cicipi, setelah melihat tempat yang direkomendasi vlogger kuliner. Ternyata tidak mudah karena waktu yang sempit. Yang jelas saya makan beberapa kali di Garuda, restoran Padang khas Medan, yang agak beda rasanya dengan restoran Padang lain.
Saya pun sempat makan di restoran Padang Sidempuan yang menyajikan makanan Mandailing yang khas, seperti ubi tumbuk, satur pakis, ikan sale. Tentu saja yang tidak lupa, saya hampir selalu sarapan dengan lontong Medan, tidak pernah bosan rasanya.