blank
Ilustrasi.

Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga

blank
JC Tukiman Taruna Sayoga

ADA evolusi dalam menyebut orang kaya/berharta itu. Ketika saya kecil, mimpi setiap orang itu ialah kepingin ndang dadi sugih, ingin kaya (raya) dan disebutlah wong sugih.

Tolok ukurnya apa waktu itu? Jawabnya gampang, yakni memiliki banyak harta benda, seperti jumlah rumah, luas dan banyaknya sawah/ pekarangan/lahan, banyaknya hewan piaraan, kepemilikan usaha, dan lain-lain yang langsung dapat terlihat mata umum.

Perubahan terjadi, sebutlah ada pergeseran, karena dari ukuran harta kasat mata itu berubah menjadi sing ora katon, yaitu tabungan uang.

Sebutannya pun bukan lagi wong sugih, melainkan jutawan. Artinya, orang itu uangnya yang berada di bank berjuta-juta banyaknya, sak thepruk.

Berubah lagi dalam waktu relatif cepat, yaitu miliarder. Mengapa? Karena kalau hanya memiliki berjuta-juta rupiah saja, orang itu belumlah disebut kaya, baru setelah uangnya bermiliar-miliar; disebutlah ia kaya, miliarder.

Baca Juga: Jika Ora Trima, Ya Trima Ora Wae

Sering orang berseloroh (waktu itu):“Seandainya saya punya uang satu miliar dan saya belikan kerupuk, lapangan bola di desaku penuh kerupuk gak ya? ”Itu bayangan orang yang bukan jutawan, apalagi pasti bukan miliarder.

Terus berevolusi, dan kini ukuran seseorang disebut kaya (raya) ialah apabila hartanya berada dalam hitungan triliun, dan jadilah orang itu disebut triliuner, sugihe ora mekakat. Apa kuwi? Sekarang ini tidak perlu main tebak-tebakan siapa orang yang termasuk triliuner dan siapa “hanya” jutawan saja.

Semua kelihatan, dan kecenderungan orang-orang kaya di mana pun, mereka itu pasti ingin memamerkan betapa dirinya kaya dengan berbagai caranya.

Dengan kata lain, semua orang saat ini tahu dengan gampang sapa wae kang sugihe ora mekakat, siapa saja sih para trilyuner itu.

Mekakat, kata Jawa ini menjadi salah satu contoh kata (tembung) yang tidak bermakna manakala hanya “sebatang kara,” namun menjadi sangat bermakna ketika diimbuh kata ora di depannya.

Jadilah ora mekakat, dan bermakna sekali. Sebenarnya ora mekakat ini sebuah pocapan wae; maksudnya sebuah ucapan dalam percakapan sehari-hari untuk menggambarkan betapa sesuatu kang ora lumrah, ora memper (bacalah seperti Anda mengucapkan bemper) lan ora pantes.

Kalau “sesuatu” itu terkait dengan kekayaan/harta, nah ……….lalu khalayak akan berucap: “Wahhhh…..Pak Dadap itu karena korupsi, sekarang ora mekakat sugihe, gak terukur lagi kaya rayanya.”

Jadi, ora mekakat dalam konteks mengategorikan kekayaan seseorang, berarti “orang itu menjadi kaya karena (berlaku) tidak sewajarnya, mungkin juga tidak sepantasnya, dan (pasti) karena melebihi ukuran pada umumnya.”

Seorang gubernur hartanya ada di mana-mana dan uangnya triliunan, ya pastilah dikomentari ora mekakat tenan sugihe. Lalu, dengan sendirinya, siapa pun menduga dan meraba; mencurigai dan mengalkulasi; dan lalu pasti ada saja yang mulai kasak-kusuk perihal kang ora mekakat iku.

Melukiskan

Tepatnya, pocapan ora mekakat, adalah ungkapan yang melukiskan apa pun; bukan terbatas soal banyaknya kekayaan, tetapi juga melukiskan betapa baiknya, indahnya, tingginya, cantiknya, dan….apa sajalah. Tetapi juga jangan lupa melukiskan yang sebaliknya, seperti buruk, jelek, kecil/sedikitnya sesuatu itu.

Melukiskan betapa indahnya lembah gunung Merbabu di waktu senja, orang terkagum-kagum berkata: “Apike” indah banget kaleeee. Hal yang sama Ketika mengagumi cantiknya pemenang kontes ratu kebaya, “ayune ora mekakat, ayune uleng-ulengan.”

Baca Juga: Kemadol Ora?

Ora mekakat dapat juga untuk melukiskan tingkah laku seseorang, semisal “Dia rajin sekali:” sementara teman sebaya belum bangun, Jono sudah bangun lebih awal, langsung berdoa, terus belajar sejam, setelah itu membersihkan halaman rumahnya, baru kemudian mandi dan bersiap-siap untuk sekolah. “Jan, ora mekakat sregepe, mula ya bijine apike pol.”

Ada contoh sebaliknya, yakni melukiskan betapa ora mekakat nakale anak, bahkan hampir separuh harta orang tua kaya itu dihabiskannya. Namun, ketika ia minta ampun setelah compang-camping kehidupannya; tergeraklah hati ortu itu oleh belas kasihan.

Diterimalah sang anak itu kembali ke rumahnya seperti sediakala. Ora mekakat apik atine wong tuwa iki. Nah ……. Jelaslah makna ora mekakat sekarang, betul…? Mekakat, eh… sepakat!!

(JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Universitas Katolik (UNIKA) Soegijapranata, Semarang)